COBA YUK BACA KEMBALI ''ANIMAL FARM''

 


Ketika George Orwell menulis Animal Farm, ia sebenarnya sedang mengolok-olok kekuasaan yang membusuk dari dalam. Bagaimana revolusi bermula dari semangat perubahan, tapi pelan-pelan berubah menjadi panggung perebutan kursi, privilese, dan manipulasi narasi.
Membacanya hari ini di Indonesia terasa seperti memandangi cermin retak. Di situ gambar kita terlihat, tapi dipantulkan dalam bentuk yang berantakan. Kadang lucu, tapi ya jelas, pedih sih..
Sambil membaca buku klasik karya George Orwell ini, kita menikmati alegori indah. Bayangkan ada sebuah kandang luas, katakanlah, bernama Nusantaria Farm. Hewan-hewan di dalamnya hidup dalam rutinitas lama. Ada yang bekerja memeras keringat, dan tentunya, ada yang mengatur dari balik pagar tinggi.
Ketika para hewan akhirnya muak dengan aturan lama, mereka mulai menginisiasi “Musyawarah Besar Kandang”. Gemuruh pergerakan. Di sana mereka meneriakkan slogan perubahan, dan menyepakati bahwa kita (?), maksudnya, semua hewan --seharusnya, setara.
Perhatikan situasinya. Seekor sapi tua berpidato panjang tentang harapan, seekor burung hantu menulis visi-misi, dan para kerbau bertepuk girang.
Namun, seperti dalam versi Orwell, perubahan sering tak berhenti pada teriakan permulaan. Di Nusantaria Farm, beberapa hewan, terutama kawanan babi cerdas, jelas memiliki kemampuan mencuri start. Mereka bergerak cepat menguasai logistik, menafsirkan ulang “aturan kandang”, dan mengambil posisi strategis di dekat gudang makanan.
Mereka awalnya tampil sebagai penyelamat, dan.. perlahan, akhirnya jadi penentu. Kuda pekerja merasa kudu terus bekerja keras. Persis slogan pemimpinnya, ''kerja, kerja, kerja!''. Ayam merasa tetap bertelur banyak, walau hasilnya entah ke mana. Dan selalu tak sadar bagaimana ''hasil'' selalu bermuara di meja para babi.
Kelihatannya, Animal Farm jadi agak relevan ya menggambarkan cerita politik kita hari ini. Membaca buku itu kita dibuat masygul. Sejatinya, buku itu bukan bercerita tentang hewan, tentu saja. Tapi pesan ringkas tentang bagaimana kekuasaan bisa sebegitu mudah menggeser idealisme.
Seperti menyelami hidup yang absurd ini. Setiap era punya “babi-babi” versinya masing-masing. Babi, yang menyimbolkan gambaran orang-orang pintar, pandai bicara, punya akses, mampu membentuk cerita. Mereka bisa muncul dengan lincah di panggung politik, bisnis, bahkan organisasi mahasiswa atau.. mungkin komunitas RT.
Struktur sosial kita bergerak tak ubahnya kandang. Ada hierarki yang terbentuk pelan, disangkal keras, tapi ''dirawat'' dengan disiplin. Dan secara umum melembagakan kebodohan ini.
Yang lucu, lagi-lagi seperti gambaran novel itu. Adalah gambaran bagaimana slogan di dinding kandang, tanpa kita sadari berubah pelan-pelan. Awalnya berbunyi seperti ini.. “Tekad Bulat Sepakat - Semua Hewan Setara”. Tapi suatu hari, saat ayam-ayam malas ini bangun subuh, tiba-tiba tulisan itu ada tambahan kecilnya.
“... kecuali (nih kata-kata sakti) hewan 'terpilih' tentu lebih 'setara' ketimbang yang lain.”
Di Indonesia, kita tak menulisnya di tembok, Bro. Kita menuliskannya dalam perilaku sehari-hari. Aturan boleh sama, tapi akses tetap beda dong. Hukum ahh.., tentu setara, tapi peluang beroleh keadilan tentu tidak, brother.
Dan, jangan salah. Orwell dalam novel satire ini juga mengingatkan bahwa ''harapan'' selalu ada! Kuda pekerja yang terlalu patuh mungkin tragis ya.. Tapi hey, ada juga hewan-hewan kecil yang terus ngomel, mempertanyakan, mengingatkan sejarah, dan memperbaiki ''kandang'' dari dalam.
Di negeri indah ini, mereka adalah guru yang tetap idealis! Lihat dengan matamu Bro. Selalu masih tersedia barang heybats. Birokrat muda mataelang yang tak mau main mata, jurnalis ideal yang terus mengingatkan dan mencatat, serta kita, warga peduli yang ingin terus menjaga integritas kecil sehari-hari.
Jika Animal Farm ditulis ulang di sini, mungkin judulnya enaknya apa ya? ''Kandang Nusantara: Sebuah Satire Tentang Negara yang Tak Pernah Sepenuhnya Selesai''. Mungkin begitu ya?
Ceritanya akan tetap sama: perubahan itu mandatori, tetapi kesadaran kritis lebih penting untuk mengawasi kekuasaan yang mengalir entah ke mana. Kita paham Tuan. Karena dalam setiap kandang, selalu ada kemungkinan slogan di tembok kembali dihapus dan ditulis ulang! (Makanya bangun subuh!)
Halo-halo kalian semua para hewan. Tetap ingat tujuan awal revolusi kita. Undang-undang Dasar Hewan sudah mengamanatkan kesejahteraan bersama milik semua kita. Bukan ditafsiri kejayaan satu spesies. Selama gelora itu masih di dada, berbanggalah kalian menjadi hewan!
Ach, hewan berkeharusan optimistis! Kandang adalah bagian dinamika berhidup kita. Toh ia selalu berkemungkinan bisa diperbaiki! Bisssaa!
(Babi membatin: Kulihat-lihat kau termenung aja dari tadi. Pintar, banyak makan, tak bersuara pula.. Jadi apa maumu? Huh! dasar babi malas!😁)



DS
SP 101225 411 1
Note: Binatangisme (2).🐴
Membaca kembali buku yang awalnya diterjemahkan sangat lucu oleh Mahbub Junaidi wartawan Bandung, ''Binatangisme''. Lalu oleh Bakdi Soemanto disadur versi lain. Makasih Bentang.
Tampaknya, membaca seperti bercermin yak. Kita ini (sebagai makhluk istimewah), sudah.. semakin mirip-mirip hewan sahaja..
Baca Juga
Berbagi
Suka dengan artikel ini? Ajak temanmu membaca :D
Posting Komentar