Adaptasi Iklim Indonesia dan Arah Baru Kebijakan Lingkungan
Musim di Indonesia tak lagi datang dengan ketepatan lama yang diwariskan para leluhur. Hujan bisa pecah di tengah kemarau, sementara kemarau dapat menyeruak di bulan yang seharusnya basah. Dalam ruang hidup masyarakat, perubahan ini tidak lagi dipandang sebagai anomali, melainkan kenyataan harian yang menuntut cara hidup baru.
Perubahan harus segera dijelang oleh semua kita. Sawah yang harus diolah ulang polanya, nelayan yang menghitung ulang waktu melaut, dan warga kota yang menyiapkan diri untuk banjir yang bisa datang kapan saja.
Indonesia berada dalam sebuah persimpangan besar, antara ketangguhan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dan, tuntutan kebijakan nasional yang harus berubah lebih cepat dari iklim yang terus beringsut.
Kearifan Lama dalam Krisis Baru
Ketika variabilitas iklim meningkat, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah mulai beradaptasi jauh sebelum dokumen strategi pemerintah disusun. Adaptasi tumbuh organik dari bawah. Petani di dataran tinggi menunda masa tanam sambil belajar membaca pola embun di ladang. Komunitas pesisir memperbaiki sistem early warning berbasis WhatsApp. Desa-desa di NTT mengembangkan bank air desa. Masyarakat adat di Kalimantan memperluas zona tutupan vegetasi untuk meredam kebakaran lahan.
Di kota, adaptasi mengambil bentuk lain. Kini rumah mulai banyak memasang pompa portabel. Komunitas RT membangun kanal darurat. Sebagian warga Jakarta kini menganggap prakiraan cuaca sebagai penentu utama mobilitas harian. Perubahan perilaku ini menunjukkan kemajuan penting. Masyarakat bergerak duluan, sering kali tanpa partitur, dan tanpa sokongan memadai dari negara.
Tapi kemampuan adaptasi lokal ini memiliki batas. Tak semua desa memiliki pengetahuan klimatologi yang baik. Tak semua kota memiliki anggaran drainase cukup. Dan, tak semua keluarga tentunya, mampu memindahkan rumah dari garis pantai yang semakin terkikis. Ketangguhan masyarakat terlihat kian kuat. Tapi memang, tak bisa berdiri sendiri tanpa arah kebijakan yang menuntun dan memperkuatnya.
Dari Rensponsif ke Kebijakan Transformasional
Peran pemerintah Indonesia memang semakin progresif dalam beberapa tahun terakhir. Ini antara lain diwujudkan lewat berbagai program penguatan sistem peringatan dini, penataan ulang tata ruang berbasis risiko, dan penyusunan dokumen kerangka adaptasi nasional.
Namun, instrumen itu -- sedikit banyak, masih bekerja layaknya “payung yang siap saat hujan sudah turun.” Artinya, semuanya jadi lebih repsonsif, dan bukannya sebagai rencana jangka panjang yang memandu adaptasi pembangunan.
Kendala utamanya ada pada kesenjangan. Agak klasik tapi terus ditempuh. Perbedaan yang kentara antara kementerian ‘’pusat’’ dan ‘’daerah’’. Antara perencanaan dan pendanaan. Antara strategi dan kapasitas teknis.
Banyak kabupaten rawan bencana yang belum memiliki data risiko detail. Sementara APBD mereka, nyatanya, memang tak cukup menopang investasi adaptasi yang terkedan ‘’mewah’’ padahal dasar, seperti penanggulangan banjir, tanggul pantai, atau rehabilitasi DAS (daerah aliran sungai).
Selain itu, kebijakan energi dan lingkungan masih bergerak lambat. Sebagian besar pembangunan masih berdiri di atas logika proyek. Artinya, bukan dalam kerangka ekologi wilayah yang sedang berubah. Di situ, adaptasi yang diperlukan bukan hanya teknis, tetapi struktural.
Memang akan terlihat ideal, tapi ya.. penting! Memilih kawasan aman untuk hunian, mendorong redesign kota, meningkatkan ‘’literasi risiko’’. Hingga, memastikan bahwa setiap program perlindungan sosial, semestinya, memuat komponen adaptasi iklim.
Tetapi perubahan arah ini membutuhkan satu fondasi penting. Itulah, ‘’keberanian’’ negara untuk jadikan adaptasi iklim sebagai agenda politik. Jadi dia bukan sekadar urusan teknis, antara lain yang diwajibkan bagi lembaga penanggulangan bencana.
Strategi Jitu
Bila dilihat kebutuhan dan kenyataan hari ini, Indonesia saat ini sudah mendesak membangun strategi adaptasi nasional yang, seharusnya tak lagi berjalan tambal-sulam. Konsep dan implementasinya seyogyanya transformasional. Dan kelihatannya strategi itu bisa disusun dengan, paling tidak, tiga pilar ini:
Pertama, mengarusutamakan risiko iklim ke seluruh kebijakan pembangunan. Menyeluruh ya, dari pertanian, perumahan, energi, hingga transportasi. Adaptasi bukan urusan BNPB semata, tetapi seluruh kementerian.
Kedua, memperkuat kapasitas lokal dengan pendanaan stabil. Memastikan desa dan kota mampu melakukan adaptasi berbasis data dan kebutuhan riil masyarakat.
Ketiga, membangun sistem informasi iklim yang presisi, terbuka, dan mudah diakses. Ini dimaksudkan agar setiap warga dapat mengambil keputusan ‘’harian’’ (sehari-hari) dengan lebih aman.
Dengan strategi ini, Indonesia ke depan tak hanya bertahan dari cuaca yang berubah. Tapi dari basisnya bergerak menuju masa depan di mana masyarakat dan negara berdiri seimbang -- satu dengan kearifan, yang lainnya dengan kebijakan.
Di tengah dunia yang terus memanas, ‘’ketangguhan’’ nasional perlu dibangun dengan kesiapan yang bukan lagi ala kadarnya dan reaksioner. Secara sadar, bangsa yang tangguh-lingkungan, hanya dapat lahir dari hubungan erat dan aktif, antara dua sisi yang membangun barikade atas ‘’kerentanan’’ masa depannya!
DS
LN 231125 411 1
