Duhai Engkau Mata Bening, Maafkanlah Kami
Setiap anak lahir membawa dunia kecilnya sendiri. Sebuah dunia yang belum dipenuhi kalkulasi, belum dijamah kekhawatiran orang dewasa, dan belum diempaskan berita-berita yang keras di media. Dunia kecil itu sederhana. Suara langkah orang tua di pagi hari, aroma dapur yang hangat, halaman kecil untuk berlari, dongeng di ruang tengah. Atau, tempat tidur yang mendendangkan ‘’percaya’’, bahwa dunia, semuanya, akan baik-baik saja.
Tapi dunia kecil itu begitu rapuhnya. Tipis. Perlu sentuhan halus. Karena seringkali retaknya dimulai dari hal kecil di rumah. Pertengkaran yang mereka dengar dari balik pintu. TV yang mendebatkan teriakan dan keonaran, bencana tetiba, atau kesibukan yang menepiskan tegursapa. Rumah yang kian lama teras sempit, mimpi yang hambar dan imaji yang buyar.
Tetiba anak-anak itu diam. Lalu mereka tanpa kata menggumam, “Lingkunganku membuatku khawatir, dalam bayang kehancuran tak terkira!” Tubuh kecil itu terperangkap. Dan jutaan angan, mimpi itu kemudian kabur bersama keributan lain orang-orang dewasa yang absen dari empati pada dahaga jiwa.
Anak Mengukur Kehidupan dari Dalam Rumah
Anak-anak itu besar dalam dekapan. Dan, karena masing-masing kita menjadi sibuk, lalu lalai. Ada jiwa rapuh yang sedang tumbuh. Setiap hari, bahkan tak ada jeda kemudian anak-anak dibombardir dengan pelbagai persoalan orang dewasa dalam rumah.
Dulu, dunia mereka adalah bermain. Berlarian di halaman, menangkap kupu-kupu, bermain layang-layang. Di dusun mereka menyusuri sungai, naik di atas punggung kerbau dan bermain mencari buah di hutan. Lalu tetiba berangsur mereka kita bawa dalam suasana yang penuh gesekan, pertikaian, jerit-tangis, juga, perang dan penghancuran di berbagai belahan dunia.
Anak-anak tidak memulai hidup dari negara, kota, atau kebijakan. Mereka memulai dari rumah. Ruang paling kecil, namun paling berpengaruh. Di sanalah anak belajar apakah dunia ini ramah atau sebaliknya. Apakah mereka boleh bersuara atau harus diam. Apakah mereka boleh bertanya, berkreasi, bermimpi atau harus menahan diri.
Rumah yang aman memberi mereka dua hal yang sangat langka. Bahwa ada tempat yang tak melukai. Dan bahwa dunia tak selalu sekeras yang mereka saksikan di luar. Dan, itulah sebenar-benarnya, hakikat rumah. Karena saat mereka pulang, mereka menemukan kehangatan, pelukan kasih sayang, perhatian dan dialog yang memerdekakan.
Lalu ingar bingar itu merusak segalanya di rumah. Orang-orang tua gaduh karena mulai hilang kesabaran. Semua orang sibuk oleh tekanan ekonomi. Gaduh berita politik merembes ke meja makan. Ponsel-ponsel menyala lebih lama dari percakapan. Anak-anak, menyerap suasana itu seperti spons. Mereka mungkin tak paham apa yang sesungguhnya terjadi. Kini, pelbagai ketelanjuran itu berdampak, kemudian mulai terasa, perlahan, hingga ke sumsum tulang.
Dan akhirnya, tak terasa, semua kita.. kehilangan! Ketelanjuran itu membawa kegaduhan baru, orang-orang dewasa memrodusir alasan. Padahal, yang paling dipahami anak bukanlah penjelasan orang dewasa. Tapi nada suara, tatapan yang penuh perhatian, sentuhan kecil, dan jawaban jujur, ketika kita menatap mata bening ingin tahu..
Kembali Pulih dari Hal Sederhana
Duhai anak-anakku, maafkanlah kami. Harapan anak atas lingkungannya, sungguh bukanlah konsep-konsep angkuh, atau narasi besar yang menyeruak di antara tatapan polos itu. Ia, bahkan dibentuk dari hal-hal kecil yang sadar kita dilakukan sebagai hadiah, pemberian tulus dan konsisten.
Dari ayah yang pulang lebih cepat hanya untuk duduk menemani menggambar.
Dari ibu yang meskipun lelah, masih mau mendengar cerita sekolah yang diulang-ulang. Dari rumah yang meski kecil, tetap menyediakan sudut aman untuk menangis dan tertawa. Dari pelukan yang berkata: “ Ok it’s ok. Tak apa. Kamu aman bersama kami di sini.”
Rasa itu tumbuh, dari keberanian orang dewasa untuk ‘’berinvestasi’’ tanpa reserve. Memberikan waktu yang utuh, waktu yang tanpa distraksi, tanpa rapat, tanpa layar untuk mata berbinar yang menatap dengan rindu.
Anak tidak akan pernah mampu, atau tak bisa, memilih dunia tempat ia lahir. Tapi orang dewasa dapat memilih cara untuk menemani mereka menavigasi dunianya dengan damai dan arif.
Di Pundak Kita
Hari Anak Sedunia sejatinya bukan seremonial global. Ia adalah panggilan sunyi untuk bertanya: Sudahkah kita menjadi ‘’rumah damai’’, menjadi lingkungan yang baik bagi anak-anak yang kita lahirkan dan besarkan di rumah sendiri?
Ingat, itu bukan lagi konsep. Tapi itu adalah kehadiran kita di sisi mereka setiap waktu mereka membutuhkannya!
Mari kita belajar dari mata bening itu. Sebab bagi seorang anak, lingkungan bukan kebijakan atau rencana tata ruang. Lingkungan adalah, ‘’orang tua yang tidak mudah marah’’, lingkungan adalah ‘’rumah yang aman’’, lingkungan adalah ‘’tempat bermain yang tak dirampas’’. Dan, itu adalah, keluarga yang dipenuhi antusiasme, yang kerap hadir dengan hati penh kelapangan.
Duhai dunia yang kelam untuk anak-anak di lingkungan tak beruntung, di mana pun di pojok dunia. Situasi yang remuk karena perang, pertikaian antar negara, rawan pangan, krisis lingkungan, atau apa pun yang mengemuka hari ini.
Ada hak yang seharusnya hadir. Tangan-tangan kokoh yang melindungi dan memulihkan harapan anak atas lingkungannya, hari ini. Entah apapun caranya, sesungguhnya dunia kita sedang dahaga. Perlu desakan untuk semua saja, lindungilah anak-anak di mana pun di tempat rawan dari bencana bagi diri mereka.
Dan untuk semua pesan tulus di Hari Anak Sedunia, harapan itu muncul. UNICEF menulis tema Hari Anak Sedunia 2025, ‘’My Day, My Rights’’. Sebuah pesan ringkas yang mengajak kita semua untuk mulai mendengar anak-anak. Untuk memahami kehidupan yang sedang tumbuh. Kini hak-hak itu beringsut, mulai menghilang. Digantikan derasnya pertikaian orang dewasa.. Dunia yang jauh dari impian hari-hari indah. Yang akan mereka kenang selamanya..
Situasi itu menjadi genting. Manakala semua hak mereka harus diperjuangkan setiap hari. Maka baiklah kita mencoba hari ini, sejak saat ini, dari rumah kecil ini. Jiwa kecil dahaga itu, basuh dengan kasih sayang tanpa batas manusia dewasa. Apa pun caranya.
Untuk anak-anakku di Seluruh Dunia. Selamat dan Bahagia! Berbisik dalam hati ini..‘’Duhai engkau, hai mata bening, maafkanlah kami!’’.💖
DS
WP 201125 411 1
