Soal Ijazah dan Masa Depan Transparansi Negara

 


Di negara demokrasi modern, sebuah dokumen publik tidak hanya bicara soal keabsahan, tetapi juga tentang legitimasi. Ketika ijazah Presiden Joko Widodo menjadi perdebatan, yang muncul bukan sekadar keraguan terhadap selembar kertas, namun kritik terhadap cara negara mengelola data warganya. 

UGM telah menegaskan bahwa Jokowi adalah lulusan sah Fakultas Kehutanan angkatan 1980 dan pengadilan pun menolak gugatan pemalsuan ijazah. Namun, di ruang publik, keraguan itu tidak pernah sepenuhnya surut. Masalahnya bukan sekadar bukti yang tak ada, melainkan pada sistem yang tak pernah dirancang untuk menjawab keraguan semacam ini dengan tuntas

Warisan Analog

Indonesia masih hidup dengan warisan arsip analog. Ketika foto ijazah Jokowi beredar dalam berbagai versi—ada yang tajam, ada yang buram, ada yang tampak berbeda kualitas—ketiadaan standar digital negara membuat publik kehilangan pegangan. 

Tak ada metadata, tak ada penjelasan jejak digital, tak ada dokumen master yang dirilis dengan integritas file yang dapat diuji. Di era manipulasi visual, di mana kualitas gambar bisa berubah oleh scanner berbeda, ruang spekulasi jadi sangat lebar. Dan di sinilah, ketika negara tak menyediakan jalur verifikasi independen, publik pun mengisi ruang kosong itu dengan prasangka.

Cara Amerika

Ini bukan situasi unik Indonesia. Amerika Serikat pernah menghadapi badai keraguan serupa ketika Barack Obama dituding menggunakan akta kelahiran palsu. Bedanya, negara merespons dengan membuka semua dokumen. Scan resmi resolusi tinggi, metadata PDF, pernyataan otoritas arsip, bahkan pemeriksaan fisik oleh lembaga independen dilakukan untuk mengungkap terang benderang. 

Tak semua pengritik diam, tapi negara menunjukkan bahwa ia memiliki mekanisme mempertahankan integritas data publik. Sistem bekerja. Dan itulah, nampaknya, yang membedakan demokrasi matang dan demokrasi rapuh.

Kontroversi ijazah Jokowi sesungguhnya mengungkap sesuatu yang lebih besar. Indonesia belum memiliki infrastruktur transparansi digital untuk menghadapi era disinformasi. Arsip kampus dari era 1980-an tidak terdigitalisasi secara sistematis. Tak ada portal verifikasi lulusan, tak ada kode unik pada ijazah, tak ada standar interoperabilitas dokumen publik. 

Ketika dokumen negara masih berupa kertas yang difoto berulang-ulang, bukan file yang dilengkapi rekam jejak digital, kecurigaan akan selalu menemukan celah untuk tumbuh. Maka yang perlu diperbaiki bukan sekadar dokumen seorang presiden belaka. Tetapi kemampuan negara membangun arsitektur kepercayaan! 

Publik berhak mendapat bukti yang dapat diverifikasi ya. Bukan sekadar pernyataan institusi. Kampus berhak memiliki sistem arsip yang tak bergantung pada laci dan map karton. Negara, pendeknya, berhak terlindungi dari serangan disinformasi yang memanfaatkan kelemahan dokumentasinya sendiri.

Cermin Legitimasi

Pada akhirnya, ijazah Jokowi bukanlah satu-satunya inti persoalan. Bolehlah sedikit kita istilahkan, ia hanya cermin. Di dalam cermin itu, kita melihat ketertinggalan digital yang membahayakan legitimasi publik. 

Jika Indonesia gagal membangun sistem dokumentasi modern, kasus serupa akan berulang. Bukan hanya untuk presiden, tetapi untuk siapa pun yang memegang jabatan publik. Dan di era ketika kepercayaan adalah mata uang demokrasi, ketiadaan transparansi bukan lagi masalah administratif. Ia tentu jadi ancaman legitimasi politik.

Transparansi bukan soal membuka arsip, tetapi membangun mekanisme yang membuat keraguan tak sempat hidup. Tanpa itu, kita bukannya sedang mempertanyakan masa lalu seorang presiden. Tetapi kita sesungguhnya tengah bertanya, masa depan kepercayaan sebuah Republik!🔏


DS

151125 411 1

Baca Juga
Berbagi
Suka dengan artikel ini? Ajak temanmu membaca :D
Posting Komentar