Ketika UU KIP Menata Ulang Cara Kita Menguji Kebenaran
Di saat wacana publik mengenai ijazah Presiden Joko Widodo kerap terseret ke ruang spekulasi dan debat emosional, sebuah panggung lain sedang bekerja. Lebih senyap, lebih sistematis, dan jauh lebih tertib.
Panggung itu adalah UU Keterbukaan Informasi Publik. Ia bukan ruang gaduh, tetapi ruang yang menyusun ulang semua keraguan melalui metode: siapa pemohon, siapa termohon, dokumen apa yang diminta, bukti apa yang sah, dan bagaimana negara wajib menjawab.
Dalam kasus sensitif ini, justru menarik melihat bahwa UU KIP beroperasi seperti orchestrasi yang baik. Ia punya partitur jelas, punya aturan tempo, dan memaksa setiap pihak, baik pemohon informasi maupun lembaga negara sebagai termohon, untuk bergerak menurut hukum. Bukan lagi menurut sentimen politik.
Orkestrasi Keterbukaan
Kasus yang menyangkut Presiden selalu membawa muatan politik tinggi. Namun UU KIP memaksa seluruh proses berjalan melalui koridor netral dan seragam. Apa yang dalam percakapan publik tampak liar, di ruang Komisi Informasi berubah menjadi rangkaian tahapan yang rapi.
Permohonan tercatat, sidang mediasi dibuka, pembuktian administratif diajukan, keberatan diuji melalui norma, bukan opini.
Secara tidak langsung, UU KIP mengubah isu yang sensitif menjadi isu administratif. Dan dalam banyak situasi, ini menyelamatkan publik dari pertarungan narasi yang tak pernah selesai.
Sistem Setara
Salah satu nilai paling fundamental dari UU KIP adalah kesetaraan posisi prosedural.
Di depan Komisi Informasi, seorang warga biasa dan lembaga negara berdiri pada garis hukum yang sama: keduanya harus patuh pada bukti administratif, keduanya terikat pada tenggat waktu, dan keduanya tidak dapat mengandalkan otoritas politik sebagai penentu.
Di sengketa informasi ijazah Presiden, hal ini sangat terlihat. Pemohon hadir dengan permintaan informasi. Termohon (dalam hal ini perguruan tinggi atau institusi terkait) hadir dengan dokumen, klarifikasi, dan argumentasi hukum. Yang bekerja hanya satu kesatuan ini, ‘’apakah dokumen itu termasuk informasi publik, apakah pengecualian berlaku, dan apakah pembuktian memenuhi standar?’’
UU KIP mengembalikan semuanya pada legalitas, bukan popularitas.
Penengah yang Merapikan Perdebatan
Dalam isu politik, pihak publik biasanya terpecah dalam opini. Tapi Komisi Informasi (KI) tidak mengadili opini. Ia mengadili kewajiban administratif badan publik. Itulah mengapa dalam kasus sensitif seperti ini, sidang KI menjadi cermin bagaimana negara seharusnya merespons keraguan. Negara hadir dalam postur tidak reaktif, tidak emosional, tidak menekan. Tetapi menjawab dengan prosedur!
Komisi Informasi juga memberi ruang bagi publik untuk melihat proses secara objektif. Ini menyangkut siapa memberi apa, argumen apa dipakai, dokumen apa diperiksa. Dengan cara itu, ia merapikan perdebatan yang di luar ruang sidang, kerap liar dan spekulatif.
Sensitivitas Menguji Keterbukaan
Yang sering dilupakan adalah: UU KIP lahir justru untuk menghadapi keadaan spekulatif itu.
Jika keterbukaan hanya berjalan pada isu remeh, maka keberadaannya tidak berarti.
Keterbukaan diuji justru pada isu yang paling politis, paling dipertaruhkan, dan paling diperdebatkan
Kasus ijazah Presiden menjadi contoh klasik bagaimana hak publik untuk tahu berhadapan dengan kewajiban badan publik untuk membuka. Tentu, hal ini tetap bersamaan dengan kaidah menghormati batas hukum seperti perlindungan data pribadi, dokumen internal lembaga pendidikan, dan pengecualian tertentu yang sah.
Dalam konteks ini, yang menakjubkan bukan hanya hasil akhirnya. Dan dalam kontaks Indonesia yang lahir kembali setelah reformasi, kita menikmati prosesnya.
Ketika pemohon, termohon, dan Komisi Informasi mampu berpegang pada mekanisme yang sama, publik disuguhi fenomena bahwa keterbukaan, nyatanya, bisa berjalan bahkan dalam tekanan politik yang tinggi. Bukannya ini yang kita tunggu saat ini?
Sebuah Orkestrasi Keterbukaan
Dari perkara yang boleh dibilang berlarut itu, dan kemudian tampil ''panggung KIP'' sebagai alternatif ''cetiga'' dari para piha yang ''bersengketa'', setidaknya ada tiga pelajaran penting bagi Indonesia.
Pertama, keterbukaan tidak bisa digantungkan pada kehendak pejabat. Yang dibutuhkan Hari Ini adalah, ia harus bergerak melalui kanal hukum.
Kedua, prosedur adalah penjinak kecurigaan publik. Ini menjawab apa yang berlangsung bingar di jagad media hari ini. Jadi, yang dibutuhkan (lagi) bukan klarifikasi singkat, bukan konferensi pers, tetapi bukti yang diuji dalam sidang resmi.
Ketiga, UU KIP yang sudah berdiri kokoh sejak 2010 itu, bekerja terbukti bisa bekerja sebagai ''sistem'' yang baik. Syaratnya tentu, ketika publik menggunakannya dengan disiplin, dan badan publik menjawabnya dengan integritas!
Nah, dalam diskursus yang menguras urat syaraf rakyat hari ini, antara lain isu yang menyangkut Presiden, aturan keterbukaan memberi kita insentif morał yang sungguh menentramkan. Dań, semua musti dibimbing dalam sepakat. Bahwa kebenaran administratif harus lahir di negeri ini melalui proses hukum yang adil. Dan sudah barang tentu, tak akan pernah selesai, bila kita mengandalkan debat jalanan!
DS
DN 18112025 411 1
