Ketika Energi Tak Lagi Menenangkan

 



Selama satu abad terakhir, energi menjadi fondasi stabilitas global. Minyak dan gas bukan hanya bahan bakar industri, tetapi juga perekat politik dunia. Negara-negara produsen di Timur Tengah menjaga aliran pasokan, sementara konsumen di Barat membangun ekonomi di atas kepastian itu. 


Namun kini, keseimbangan itu retak. Energi yang dulu menenangkan, kini justru memicu kecemasan baru. Ledakan harga minyak, transisi hijau yang setengah matang, dan geopolitik bahan baku kritis menciptakan lanskap energi paling tidak stabil sejak krisis 1970-an. 


Ketika Rusia memotong pasokan gas ke Eropa dan konflik di Timur Tengah kembali memanas, dunia tersadar: keamanan energi tidak lagi dapat diandalkan dari satu sumber, atau satu blok kekuatan.


Transisi yang Tergesa


Menurut International Energy Agency (IEA), investasi global dalam energi bersih mencapai rekor US$1,8 triliun pada 2024. Melampaui investasi di bahan bakar fosil untuk pertama kalinya. Namun transisi ini tidak berjalan mulus. 


Di Eropa, biaya energi terbarukan melonjak 40% karena rantai pasok baterai dan logam langka masih bergantung pada Tiongkok. Di Amerika Serikat, subsidi hijau lewat Inflation Reduction Act memicu perlombaan industri bersih, tetapi juga perang dagang baru dengan Eropa dan Asia.


Negara berkembang menghadapi paradoks baru di rana ini. Mereka didorong untuk meninggalkan batu bara, tapi tak punya cukup dana untuk membangun pembangkit hijau. World Bank memperkirakan defisit pendanaan iklim global mencapai US$2,4 triliun per tahun hingga 2030. 


Tanpa dukungan konkret, transisi energi berisiko menciptakan Green Divide—jurang antara negara kaya yang bisa membeli teknologi bersih, dan negara miskin yang tetap terjebak dalam karbon.


Politik Baru Bahan Baku


Jika abad ke-20 diwarnai oleh perebutan minyak, maka abad 21 ditandai perebutan litium, nikel, dan kobalt. Ketiganya menjadi tulang punggung baterai kendaraan listrik dan penyimpanan energi. Dan itu, setidaknya kita tahu, lebih dari 70% pemurnian logam kini dikendalikan Tiongkok.


Amerika Serikat dan Uni Eropa menanggapinya dengan kebijakan de-risking—mengurangi ketergantungan pada Beijing. Hal ini mendorong munculnya “poros baru” bahan baku di negara-negara selatan seperti Indonesia, Chile, dan Republik Demokratik Kongo. 


Indonesia, misalnya, telah menarik investasi besar dari Tesla, LG, dan CATL, serta membangun rantai pasok nikel terintegrasi senilai lebih dari US$30 miliar. Tapi di balik euforia industri ini, muncul kekhawatiran lain yaitu ketimpangan nilai tambah dan kerusakan lingkungan karena ekstraksi mineral masif.


ASEAN di Garis Depan Energi Baru


Asia Tenggara kini menjadi medan strategis transisi energi dunia. Dengan populasi 680 juta jiwa dan pertumbuhan permintaan listrik tertinggi di dunia, kawasan ini menghadapi dilema klasik: menyeimbangkan kebutuhan energi murah dengan komitmen dekarbonisasi.


Vietnam telah menjadi pemimpin energi surya di kawasan, dengan kapasitas lebih dari 20 gigawatt, melampaui Inggris. Indonesia berambisi membangun Green Industrial Park di Kalimantan Utara, sementara Malaysia dan Thailand memperkuat produksi panel surya dan kendaraan listrik. Namun perbedaan regulasi dan ketergantungan pada batu bara masih tinggi. Sekitar 42% listrik ASEAN masih dipasok bahan bakar fosil ini.


Bank Dunia memperkirakan bahwa tanpa percepatan reformasi energi, ASEAN akan kehilangan potensi investasi hijau senilai US$200 miliar dalam dekade ini.


Ketegangan Baru


Transisi energi yang diharapkan membawa stabilitas, justru memunculkan bentuk baru kompetisi global. Perang tarif hijau antara AS dan Tiongkok, krisis listrik di Eropa Timur, serta perebutan rantai pasok baterai di Asia, semuanya menunjukkan bahwa energi kini lebih mirip alat tawar ketimbang perekat dunia.


Ketika dunia berpindah dari minyak ke mineral, resiko geopolitik tak hilang. Hanya berubah bentuk. Energi yang dulu menenangkan, kini menjadi cermin dari kegelisahan global. Di antara idealisme hijau dan realitas politik, di antara investasi besar terdapat kesenjangan baru yang lahir darinya.


Mungkin, dalam dunia yang semakin panas — secara harfiah maupun politik — ketenangan bukan lagi berasal dari sumber daya alam, sich. Melainkan muncul dari kemampuan manusia, menata ulang cara hidupnya! 


DS

GE 30 10 25 411 1

Baca Juga
Berbagi
Suka dengan artikel ini? Ajak temanmu membaca :D
Posting Komentar