Semeru, Keindahan yang Menjaga, Bahaya yang Mengajari
Pagi datang dengan embun di pucuk kebun kentang, suara ayam dari balik pagar bambu, dan langkah anak-anak sekolah yang tak pernah lepas dari arus hidup di lereng gunung.
Bagi para pendaki, Semeru adalah undangan yang jarang bisa ditolak. Ranu Kumbolo, oh.. cermin biru yang seolah menyimpan rahasia langit. Oro-Oro Ombo, hamparan luas yang membuat langkah melambat hanya untuk menikmati sunyinya angin. Dan puncak Mahameru itu, tempat di mana banyak orang merasa menemukan dirinya setelah kehilangan banyak hal di bawah sana.
Namun gunung seindah itu, selalu menyimpan gema yang lebih tua dari keheningannya. Pada hari Semeru kembali terbangun, beberapa hari ini, getarannya menyusup lewat tanah, lewat batang-batang pinus, lewat udara yang pelan berubah gelap.
Di atas sana, lebih dari 170 pendaki yang tengah menikmati sunyi Ranu Kumbolo mendadak harus berhadapan dengan ketakutan yang tak pernah mereka perhitungkan. Barang-barang tertinggal, rencana berubah menjadi pelarian terukur, dan jejak kaki menurun dengan keheningan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Semeru memberi peringatan, dan manusia menjawabnya dengan langkah yang lebih cepat.
Di bawah, kehidupan pun bergeser. Abu turun seperti debu waktu, menempel di daun, di genting, di bahu orang-orang yang berjalan menuju titik aman. Lebih dari 900 warga meninggalkan rumah, ladang, dan halaman tempat mereka menjemur harapan sehari-hari. Mereka membawa apa yang paling ringan di tangan, tetapi paling berat di hati. Ingatan, keluarga, rasa sayang pada tanah yang ditinggalkan sementara..
Meski begitu, di tengah kepanikan itu, kehangatan justru tak hilang. Ini bukan kebetulan. Tapi sikap yang sudah lama tersedia. Relawan membuka tangan seluas-luasnya. Warga desa tetangga menyiapkan ruang istirahat, tanpa hitung-hitungan.
Di pos pengungsian, tawa kecil anak-anak kembali muncul ketika malam agak teduh. Dan para orang tua duduk memandang ke arah gunung, seperti orang yang mengerti bahwa bencana bukan ancaman semata, melainkan bagian dari ritme panjang hidup mereka. Karena, begitulah hidup di lereng gunung: indah, tetapi nyatanya, memang tak pernah jenak.
Semeru mengingatkan bahwa batas 8 kilometer dari kawah bukan sekadar angka teknis. Itu kesepakatan ilmu, dan petanda ''jarak hormat''. Bahwa alur-alur sungai seperti Besuk Kobokan harus dibiarkan lengang ketika gunung sedang ''bicara''. Bahwa kesiapsiagaan, sejatinya bukanlah rasa takut. Benar, ia adalah bentuk sayang terhadap hidup.
Di altar kebencanaan, Semeru mengajarkan sesuatu yang tak tertulis. Bahwa menjadi akrab dengan bencana bukan berarti menyerah pada bahaya. Tapi belajar hidup berdampingan dengan alam yang bergerak dengan aturannya sendiri.
Warga gunung memahami ini sejak lama. Bahwa keberanian bukanlah menantang bencana, tetapi mengenali tanda-tandanya. Begitu ada petanda bencana mengungsi tepat waktu, kembali merawat tanah ketika keadaan tenang. Hakikatnya tetap mencintai rumah, meski tahu bahwa ia berada di wilayah yang rawan.
Dan dari kebijaksanaan itulah harmoni muncul. Manusia dan gunung berjalan dalam jarak yang saling menghormati.
Semeru tetap menjulang, tetap indah, namun sejatinya ia tetap berbahaya. Bagi mereka yang hidup di bawahnya, ini tentu bukan hanya ancaman. Tepatnya ia adalah sahabat. Selain itu ia adalah guru yang keras, sekaligus tetangga tua yang harus dipahami ritmenya.
Bagi mereka yang hidup di lereng gunung, kedamaian itu bukanlah ketiadaan bencana.
Kedamaian itu, artinya adalah kemampuan untuk hidup bijak di tengahnya..😇
DS
MB 211125 411 1
