Ambisi Tanpa Ongkos, Ketika Komitmen Negara Maju Tak Mengejar Laju Krisis

 


Pertemuan PBB Mengenai Perubahan Iklim (COP30) di Belém, Brasil memperlihatkan bagaimana negara-negara maju semakin pandai merancang kalimat ambisius. Tapi belum mampu menyediakan perangkat yang membuat ambisi itu bekerja. Mereka datang membawa peningkatan target pengurangan emisi, yang dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa disebut sebagai Nationally Determined Contributions. 

Yakni komitmen yang diumumkan setiap negara untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Di atas kertas, target-target baru tersebut tampak lebih tegas. Namun, begitu pembahasan masuk pada pertanyaan paling krusial, siapa yang membayar dan berapa besar jumlahnya, pembicaraan segera melemah.

Kesepakatan lama mengenai penyediaan 100 miliar US dolar per tahun untuk negara berkembang bahkan belum benar-benar dipenuhi. Padahal kebutuhan dunia, sejatinya sudah melampaui beberapa triliun dolar per tahun untuk memastikan jalur penurunan emisi tetap terbuka. 

Belém akhirnya seperti panggung di mana negara maju ingin tampil sebagai pemimpin iklim. Namun paradoksnya adalah keenganan menanggung konsekuensi finansial dari kepemimpinan itu. Mereka berbicara tentang keperluan menekan suhu bumi agar tak naik melewati 1,5 derajat Celsius. Tapi enggan membahas reformasi fiskal yang diperlukan untuk mendukungnya. Ambisi itu berdiri tegak, namun tanpa mesin yang membuatnya bergerak.

Mekanisme Didorong Tapi Tak Dibiayai

Kontradiksi yang sama tampak jelas dalam pembahasan Loss and Damage, yaitu mekanisme pendanaan untuk kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim yang sudah tak dapat dicegah. Belém memang membuka ruang politik untuk memperkuat mekanisme tersebut, tetapi tidak menyediakan sumber daya permanen yang membuatnya berfungsi. 

Negara-negara maju menolak ide kontribusi wajib atau sistem otomatis yang mengisi dana setiap tahun, dan lebih memilih pendekatan ''sukarela'' yang sifatnya tak stabil. Hasilnya adalah kerangka yang tampak progresif tetapi, tak operasional. Istilah yang cocok adalah sebuah ''desain'' tanpa bahan bakar.

Persoalan serupa muncul dalam pendanaan adaptasi. Yaitu upaya negara miskin menyesuaikan diri terhadap banjir, kekeringan, gelombang panas, dan pergeseran ekosistem. Adaptasi selama bertahun-tahun tertinggal jauh dibanding pendanaan mitigasi. Sementara dampak iklim justru paling cepat terasa di negara-negara yang kontribusinya terhadap emisi global sangat kecil. 

Belém mengakui ketimpangan ini, namun tetap tak mampu memaksa negara-negara maju mengalihkan porsi dana secara signifikan. Mereka mengakui masalahnya, tetapi tak menempatkan cukup uang untuk menyelesaikannya.

Pada akhirnya, Belém menyingkap pola lama yang terus berulang dalam panggung diskusi perubahan iklim. Negara maju bersedia memimpin secara moral, tetapi tak siap memimpin secara material. Mereka ingin memegang bendera transisi hijau, namun menahan tangan ketika diminta menanggung biayanya. 

Selama kesenjangan ini tak ditutup, setiap komitmen iklim akan mudah menguap menjadi deklarasi belaka. Bergaung, indah dalam pernyataan, rapuh dalam pelaksanaan. 

Ambisi dialog tingkat dunia tentang iklim ini memang bisa jadi lelucon. Keinginan tinggi tanpa dukungan komitmen. Ya, setinggi apa pun, tentu tak akan berarti, tanpa kesediaan membayar ongkosnya!💣


DS

241125 411 1


Baca Juga
Berbagi
Suka dengan artikel ini? Ajak temanmu membaca :D
Posting Komentar