Bicara Lebih Tegas! Cara Sukses Malaysia Bernegosiasi Dagang dengan Amerika
Kepemimpinan Malaysia dalam pertemuan ASEAN baru-baru ini tampak lebih sumringah dibanding biasanya. Di balik gesture diplomatik dan pernyataan normatif tentang stabilitas kawasan, terselip sebuah capaian konkret yang menegaskan posisi Malaysia sebagai salah satu pemain tangguh di Asia Tenggara. Apalagi kalau bukan keberhasilannya menegosiasikan ulang kebijakan tarif dagang dengan Amerika Serikat!
Langkah ini bukan sekadar manuver teknis perdagangan, melainkan juga sinyal geopolitik yang kuat — bahwa negara berkembang pun mampu berdiri tegak di hadapan superpower yang kerap datang dengan tuntutan keras dan agenda sepihak.
Dalam konteks politik ekonomi global yang semakin timpang, keberhasilan Malaysia ini menjadi lesson learnt berharga bagi negara-negara ASEAN dan negara-negara Selatan pada umumnya. Di tengah tekanan sistem perdagangan dunia yang masih didominasi oleh kepentingan utara — dari tarif, akses teknologi, hingga isu rantai pasok — Malaysia memperlihatkan bahwa negosiasi bukan hanya cerdas. Tapi juga disiplin pada “red lines”, jadikan penguatan ekonomi domestik senjata efektif menegosiasikan kedaulatan, tanpa menutup pintu kerja sama.
Tantangan Washington
Awal tahun ini, Washington mengumumkan ancaman tarif baru terhadap sejumlah produk ekspor dari Malaysia — mulai dari elektronik, komponen otomotif, hingga sarung tangan karet — dengan besaran mencapai 25 persen.
Alasannya klasik: defisit perdagangan Amerika yang terus melebar dan tuduhan bahwa Malaysia menikmati keunggulan tidak adil melalui subsidi dan praktik tenaga kerja murah.
Namun yang menarik bukanlah ancamannya, melainkan cara Malaysia merespons.
Alih-alih bersikap defensif atau mengajukan permohonan keringanan seperti banyak negara berkembang lainnya, Malaysia justru menyiapkan delegasi negosiasi tingkat tinggi yang dipimpin langsung oleh Menteri Perdagangan dan Industri Internasional, Tengku Zafrul Aziz.
Delegasi ini tidak datang ke Washington dengan nada menyerah, tetapi dengan berkas data, audit rantai pasok, dan serangkaian pernyataan prinsipil: bahwa Malaysia bersedia bekerja sama, tetapi tidak akan menyeberangi garis merah kedaulatannya.
Dalam berbagai wawancara, Tengku Zafrul menegaskan posisi tersebut dengan bahasa yang diplomatis namun tajam: “We want fair trade, not forced trade.” Malaysia menolak melunakkan regulasi tenaga kerja atau kebijakan industri dalam negeri hanya demi mengamankan ekspor ke pasar AS.
Hasilnya, dari ancaman tarif 25 persen, Washington akhirnya menurunkan angka itu menjadi sekitar 19 persen — sebuah kompromi yang dianggap oleh banyak pengamat sebagai kemenangan diplomatik terselubung bagi Kuala Lumpur.
Negosiasi yang Didukung Struktur Domestik
Keberhasilan ini tidak lahir dari lobi semata. Sejak beberapa tahun terakhir, Malaysia sudah membangun reputasi administratif yang kuat dalam sistem ekspor-impor. Pemerintah memperketat pengawasan transshipment, memperbaiki sistem certificate of origin, dan menindak praktik pengalihan asal barang yang sering membuat Washington curiga.
Dengan sistem perdagangan yang lebih transparan, Malaysia membawa trust capital ke meja negosiasi.
Kekuatan lain datang dari diversifikasi mitra dagang. Sembari bernegosiasi dengan AS, Malaysia memperluas kerja sama melalui RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), memperkuat hubungan intra-ASEAN, dan menjajaki kesepakatan baru dengan Uni Eropa serta negara Teluk.
Dengan cara ini, ketergantungan terhadap satu pasar besar berkurang, posisi tawar meningkat, dan tekanan unilateral dari AS tidak lagi bersifat mematikan. Kebijakan ini merupakan manifestasi nyata dari strategi “multi-alignment”. Tidak berpihak mutlak pada Barat maupun Timur, tetapi memperkuat daya tawar dari dalam.
Seni Menetapkan Garis Merah
Pelajaran terbesar dari negosiasi Malaysia-AS bukanlah pada angka tarif, melainkan pada kemampuan menetapkan “red lines” secara konsisten.
Banyak negara berkembang tergoda untuk mengorbankan kepentingan domestik — mulai dari upah minimum, kebijakan subsidi, hingga perlindungan industri kecil — demi menghindari sanksi ekonomi dari negara besar.
Malaysia menunjukkan bahwa batas itu bisa ditegakkan, asalkan posisi diplomatik disertai data kuat dan kesiapan internal. Pendekatan Malaysia ini juga memperlihatkan transformasi cara pandang terhadap negosiasi internasional.
Negosiasi bukan lagi sekadar upaya untuk menghindari kerugian jangka pendek, melainkan strategi jangka panjang untuk memperkuat kapasitas nasional.
Ketika AS menekan dengan isu “keamanan rantai pasok” — terutama pada sektor semikonduktor — Malaysia justru memanfaatkannya untuk mendorong investasi dalam negeri dan memperluas kapasitas industri elektroniknya. Tekanan eksternal diubah menjadi momentum pembelajaran ekonomi.
Menulis Ulang Peta Kekuatan Selatan
Keberhasilan Malaysia sebetulnya menandai arah baru politik ekonomi Selatan. Negara-negara berkembang kini mulai menyadari bahwa mereka tidak bisa terus bergantung pada belas kasih atau janji investasi dari Utara.
Dunia multipolar yang sedang tumbuh memberi ruang bagi smart states — negara-negara menengah dengan kapasitas teknokratik tinggi dan kepemimpinan yang percaya diri.
Dengan kemampuan negosiasi yang berbasis data dan kredibilitas, mereka bisa memanfaatkan rivalitas antar-superpower untuk memperkuat ekonomi nasional, bukan menjadi korban tarik-menarik kekuasaan. Pelajaran dari Kuala Lumpur ini juga relevan bagi negara seperti Indonesia, Vietnam, bahkan Mesir dan Brasil.
Ketika Washington atau Beijing datang dengan agenda besar, negara-negara tersebut perlu belajar berkata: kami siap bekerja sama, tapi kami juga punya kepentingan sendiri.
Itulah cara baru Selatan berbicara di meja global — bukan dengan teriakan, tetapi dengan ketegasan yang tenang dan cerdas.
DS
E 3 1 5 IvI 1 4 1 1
