Wajah Bopeng Bumi: Nistanya Lahan Bekas Tambang
Dari langit, bekas tambang di Indonesia tampak seperti luka di tubuh bumi. Lubang-lubang menganga di Bangka Belitung, kolam-kolam raksasa di Sulawesi Tengah, dan lembah kering di Kalimantan Timur menyisakan jejak dari logam dan batu bara yang pernah menyuburkan ekonomi nasional.
Di balik kilau timah, nikel, dan batu bara, yang tertinggal adalah tanah yang tak lagi pulang — kehilangan kesuburannya, ekosistemnya, bahkan arah masa depannya.
Indonesia adalah salah satu negara dengan lahan bekas tambang terbesar di dunia. Lebih dari 10 juta hektare area pernah atau sedang dieksploitasi untuk tambang mineral dan batubara. Dari jumlah itu, kurang dari 20 persen yang benar-benar direklamasi atau dimanfaatkan kembali secara produktif.
Selebihnya berubah menjadi danau-danau asam, padang ilalang, atau kawasan mati tanpa kehidupan.
Pada puncak harga komoditas global, tambang dianggap anugerah. Ia membuka lapangan kerja, mendongkrak ekspor, dan memperkuat cadangan devisa. Tapi begitu siklus harga turun dan alat berat pergi, masyarakat yang tinggal di sekitar tambang sering dibiarkan menghadapi kenyataan pahit.
Air sumur yang beracun, sawah yang hilang, dan ruang hidup yang runtuh bersama pit-pit tambang yang tak pernah direklamasi.
Paradoks Tiga Wajah
Timah di Bangka Belitung memberi contoh paling gamblang. Sejak abad ke-18, tanah itu digali tanpa henti. Kini, dari udara, lebih dari 100.000 lubang tambang menganga di pulau yang dulunya hijau. Banyak di antaranya dibiarkan begitu saja, menjadi kolam tak bertepi yang meracuni sumber air.
Upaya reklamasi seringkali hanya formalitas: tabur bibit, tanam cepat, foto, lalu pergi. Sementara ekosistem tak semudah itu disembuhkan — butuh puluhan tahun agar tanah kembali bernafas.
Di Sulawesi dan Maluku, cerita nikel tak kalah getir. Di tengah gegap gempita transisi energi dan baterai kendaraan listrik, ribuan hektare hutan tropis hilang dalam waktu singkat.
Di Morowali, area bekas tambang yang gagal direstorasi berubah menjadi rawa merah pekat — hasil oksidasi mineral yang mencemari sungai dan pesisir. Ironinya, logam yang digadang-gadang akan “menyelamatkan planet” justru menimbulkan luka ekologis baru di tempat asalnya.
Kalimantan Timur, jantung batu bara Indonesia, menjadi wajah ketiga dari paradoks ini. Ribuan lubang bekas tambang menganga di sekitar Samarinda dan Kutai Kartanegara. Data Jatam menyebut ada lebih dari 2.700 lubang tambang batubara yang belum direklamasi.
Beberapa bahkan memakan korban jiwa anak-anak yang tenggelam saat bermain di sekitar kolam bekas galian. Negara tampak gagap: izin tambang mudah keluar, tapi pemulihan pasca tambang berjalan di tempat.
Dari Laba ke Luka
Masalah utama bukan sekadar teknis, melainkan tata kelola. Undang-undang sudah mewajibkan setiap perusahaan tambang menyediakan dana reklamasi dan pascatambang. Namun di lapangan, mekanismenya sering bocor — deposit tidak transparan, pengawasan lemah, dan hubungan antara pejabat lokal dan korporasi sering kabur batasnya.
Banyak perusahaan yang bubar sebelum menunaikan kewajiban, meninggalkan lubang dan utang ekologis yang tak tertagih.
Di sisi lain, masyarakat lokal sering tak memiliki posisi tawar untuk menentukan masa depan lahan bekas tambang. Padahal, di beberapa daerah, ada inisiatif kecil yang layak dicontoh. Bekas tambang timah yang disulap jadi kebun ikan, area batubara yang dijadikan wisata air, bahkan percobaan menanam hortikultura di lahan eks-nikel.
Semua itu menunjukkan satu hal. Bahwa tanah bisa pulih, jika ada kemauan politik dan pengetahuan ekologis yang memadai.
Namun, tanpa rencana besar nasional, semua inisiatif itu akan tetap bersifat sporadis. Pemerintah masih melihat tambang dari sisi “izin dan produksi”, bukan dari “siklus hidup lahan”.
Padahal di masa depan, yang akan menentukan daya tahan ekonomi bukan lagi seberapa banyak kita menambang, melainkan seberapa cerdas kita memulihkan.
Membaca Ulang Masa Depan
Di tengah perdebatan transisi energi, ada ironi yang sulit dihindari. Dunia mengejar logam untuk energi bersih, namun proses mendapatkannya tetaplah kotor. Indonesia sejatinya punya peluang untuk keluar dari lingkaran itu.
Caranya adalah dengan menata ulang paradigma pengelolaan lahan pascatambang sebagai bagian dari ekonomi hijau. Dan itu menjadi komitmen baru yang dijalani, bukan sekadar beban administratif.
Lahan bekas tambang bukan akhir dari sebuah cerita. Ia sungguh berkemungkinan menjadi awal langkah baru yang bisa disulap jadi insentif ekologis — katakanlah restorasi, riset biodiversitas, atau bahkan pengembangan energi surya.
PR besarnya adalah mengubah cara pandang lama menuju bijak. Bahwa tanah adalah ciptaan yang berhak hidup. Yang rusak pun berhak mendapatkan masa depannya kembali.
Dan akhirnya, yang akan terus diuji sebetulnya adalah komitmen kita. Bukan seberapa cepat kita menggali bumi. Melainkan seberapa dalam kita memahami cara merawatnya kembali.
DS
LG 041125 411 1
