Anak dari Rumah Ilmu Membangun Dunia, Anak dari Rumah Kekuasaan Membangun Citra
Kawan, menyaksikan Zohran Mamdani mengucapkan pidato kemenangannya, saya tiba-tiba leleh air mata tak terasa.. Anak muda luarbiasa ini, lahir dari keluarga seperti apa. Apa mungkin itu yang disebut teladan, keluarga yang membentuk karakter.
Di tengah hiruk-pikuk politik yang kian dangkal dan penuh slogan, muncul nama yang memulihkan harapan ruang nalar: Zohran Kwame Mamdani. Politisi muda New York berdarah India-Uganda yang baru saja mencatat sejarah dengan kemenangan telak dan menerbitkan aura perubahan. Ia bukan sekadar sosok muda yang energik, tetapi representasi dari generasi baru yang menjadikan pendidikan dan kesadaran sosial sebagai fondasi politik. Betul, bukan sekadar ambisi kekuasaan.
Keluarga Pendidik
Lahir pada 18 Oktober 1991 di Kampala, Uganda, Zohran dibesarkan dalam rumah yang sejak awal berdenyut dengan wacana dan gagasan. Ayahnya, Mahmood Mamdani, adalah salah satu intelektual terbesar Afrika modern—profesor di Columbia University. Pemikir postkolonial, dan penulis buku legendaris Citizen and Subject. Ibunya, Mira Nair, adalah sutradara film kenamaan dunia, kreator Monsoon Wedding dan Salaam Bombay!, yang dikenal karena ketajamannya membongkar ketimpangan sosial melalui layar perak.
Bisa dibayangkan bagaimana suasana rumah keluarga itu. Jelas. Bukan rumah yang sibuk membicarakan tender proyek, melainkan ide, keadilan, dan kemanusiaan.
Dengarkan. Zohran pernah berkisah,“Di meja makan, kami tak membicarakan siapa menang siapa kalah, tapi apa yang salah di dunia, dan bagaimana kita memperbaikinya..”, tuturnya.
Kalimat sederhana itu menjelaskan segalanya. Anak muda ini jelas tumbuh dalam ekosistem intelektual. Tempat pendidikan bukan sekadar urusan ijazah, melainkan proses membentuk karakter; empati, pandangan kritis, dan tanggung jawab publik.
Sekolah Kesadaran, Bukan Formalitas
Zohran kecil menempuh pendidikan dasar di Bank Street School for Children, salah satu sekolah progresif di Manhattan. Pendidikan dasarnya pun milih. Usai itu, ia melanjutkan sekolah di Bronx High School of Science—sekolah publik bergengsi yang telah melahirkan delapan pemenang Nobel! Di sanalah, kabarnya, ia belajar logika, debat, dan keberanian berpikir berbeda.
Yang menarik, meski datang dari keluarga kelas menengah bergengsi, Zohran tak berpikir pragmatis. Menempuh jalur “elite politik” yang biasa dipilih anak-anak dari keluarga ‘the Haves’. Ia memilih Bowdoin College di Maine, dan mengambil jurusan unik: African Studies — mempelajari sejarah, budaya, dan perjuangan masyarakat kulit hitam di seluruh dunia.
Pilihan itu bukan kebetulan. Ia rupanya ingin memahami akar ketimpangan, kolonialisme, dan perjuangan sosial dari perspektif historis. Sementara, tentu saja, banyak mahasiswa lain berburu gelar demi karier aman. Zohran justru membenamkan dirinya dalam pelajaran tentang penderitaan dan perlawanan!
Pemihakannya kentara. Di kampus, ia ikut mendirikan cabang organisasi Students for Justice in Palestine. Jelas, ini menunjukkan kekuatan peduli pada isu global dan keberanian memihak kaum lemah. Semua itu cermin! Pendidikan baginya bukan alat untuk naik kelas sosial (lagi). Tapi pilihan jalan perjuangan untuk menegakkan keadilan.
Intelektual yang Cerdas Sosial
Mulia dan lengkap benar bekal kedua orang tua Zohran yang mewariskan kekuatan karakter itu. Dari Ayah, Zohran belajar kedalaman berpikir dan kecermatan menganalisis struktur sosial. Dari Ibunya, ia menyerap seni bercerita, kepekaan publik, dan kemampuan menjangkau hati mereka. Kekuatan dari rumah itu melahirkan sosok unik, orator intelek dengan komunikasi alamiah fasih.
Sebagai anggota majelis negara bagian New York (New York State Assembly) mewakili distrik 36 di Queens, Zohran tidak tampil seperti politisi muda biasa. Ia bicara tenang tapi tajam. Perhatikan kalimat pilihannya lebih mirip esai moral ketimbang pidato politik.
Ia mengusung isu-isu yang jarang dilirik anak muda. Tapi generik. Perumahan terjangkau, keadilan bagi imigran, transportasi publik yang manusiawi, dan solidaritas lintas ras dan agama.
“Politik,” katanya, “bukan soal memenangkan jabatan, tapi soal memenangkan kehidupan yang layak bagi orang banyak.” Kedengarannya sederhana, tapi di era politik citra dan pencitraan, kesederhanaan semacam itu.. revolusioner!
Politik itu Etika
Apa yang membuat Zohran berbeda dari banyak politisi muda di dunia adalah fondasi moral dan intelektualnya itu. Bukannya tampil sebagai “influencer politik” yang fasih berpose di media sosial. Ia memilih sebagai aktivis yang memosisikan diri ‘’berpikir-dalam’’ dan bekerja nyata.
Ia memahami sejarah penindasan bukan dari buku, tapi warisan pengalaman keluarganya. Ia merasakan sendiri Ayahnya diusir dari Uganda oleh diktator Idi Amin. Seolah menjadi stateless, dan dengan sabar membangun hidup dari nol di benua lain. Dari situ, Zohran belajar bahwa kekuasaan bisa menindas dan karenanya dunia butuh ''pejuang intelek'' dengan keberanian moral.
Ketika berkampanye, ia tak menjual nama besar orang tuanya. Tapi menerangkan dan membawa nilai-nilai yang mereka ajarkan: kejujuran, empati, dan tanggung jawab. Dalam perjalanan perjuangannya, ia mendatangi calon pemilih dari rumah ke rumah di Queens. Ia berbicara langsung dengan mereka, mendengarkan keluh kesah, tanpa bodyguard, tanpa panggung besar.
Ada pandangan penting di sini, bahwa politik baginya bukan sekadar karier, tapi dimulai dari pelayanan, pengorbanan. Mungkin itu sebabnya, kemenangan Zohran terasa berbeda.
Ia tak didorong mesin partai besar. Ia tidak bersembunyi di balik trah atau dinasti. Apalagi memakai nama ayahnya sebagai modal elektoral. Ia menang karena ide dan kerja! Dua hal yang semestinya mendasari setiap jabatan publik.
Cermin Terbalik
Kisah Zohran bukan cuma kisah politisi muda sukses di New York. Lebih dari itu, ini adalah potret tentang bagaimana dunia seharusnya bekerja. Bahwa ketika keluarga mendidik anak dengan nalar dan empati, akan lahir pemimpin yang berpikir. Tapi ketika keluarga hanya mewariskan kekuasaan, maka lahirlah pejabat yang ‘’berpura-pura berpikir’’.
Kata-kata bijak menyebut, “Anak dari rumah ilmu membangun dunia; anak dari rumah kuasa membangun citra.”
Tak usahlah kita menyebut pembandingnya. Semua kita tahu, Pendidikan di negara dunia ke satu melahirkan kaum muda juara. Di sini, politik kaum muda – yang bukan lahir dari ruang baca, meniru cara bodoh punggawa istana.
Anak-anak keluarga berkuasa muncul bukan karena prestasi. Melainkan karena posisi. Pendidikan dijadikan dekorasi. Ijazah dijadikan jubah legitimasi. Busyet dah, rakyat disuruh percaya bahwa gelar bisa menggantikan isi kepala.
Dari ringkasan ruang baca keluarga Zohran, kita menyimak sosok muda istimewa. Berkarakter yang, nyatanya, tak hanya menang dalam pemilu — ia sesungguhnya menang dalam pertarungan makna.
Sikap anak muda itu tenang-teguh, mengajari kita semua bahwa kekuasaan bisa menjadi etis. Bahwa politik bisa dijalani tanpa kebohongan. Dan bahwa seorang anak muda bisa menjadi pemimpin karena ia berpikir. Bukan karena ia dilahirkan oleh orang bernama.
Dan mungkin, di negeri yang setiap musim politiknya diwarnai oleh gelar yang diragukan, juga moral yang diringankan, kisah Zohran terasa seperti tamparan. Lembut, tapi telak! Bahwa pendidikan sejati tak bisa dipalsukan. Pun Kepemimpinan sejati tak bisa diwariskan.
Duh, beruntungnya keluarga Mamdani. Sehebat itu melahirkan juara.. Dan kita teman, percaya atau tidak, air mata ini meleleh lagi.. Entah, tak tahu ini karena bangga, haru, atau iri.. Sudahlah! Merataplah Bangsaku! Huh..(Bentar, ada suara lÃrih di belakang).. Dasar lelaki cengeng!💢
DS
PK 06 11 25 4111 1
