Sentimen Identitas di Balik Pemilu New York
Pemilihan wali kota New York tahun ini bukan hanya soal siapa yang akan memimpin kota terbesar di Amerika Serikat, tetapi juga cermin dari bagaimana kota multikultural itu bergulat dengan isu ras, identitas, dan representasi politik. Di tengah euforia partisipasi tinggi dan narasi perubahan yang dibawa Zohran Mamdani, ada pula gelombang halus sentimen rasial dan agama yang menyusup dalam percakapan publik dan media.
Figur dari Queens
Zohran Mamdani, politisi muda progresif kelahiran Uganda berdarah India — dan beragama Islam, menjadi simbol baru New York yang lebih ‘’beragam’’. Sebagai anggota dewan kota dari Queens, ia dikenal vokal memperjuangkan keadilan sosial, reformasi perumahan, dan kebijakan ekonomi yang berpihak warga kelas pekerja.
Namun, latar belakangnya yang “non-tradisional” bagi politik arus utama Amerika juga menimbulkan reaksi berlapis — antara kekaguman, harapan, dan kecurigaan. Sebagian kalangan konservatif menyorot asal-usul dan keyakinan agamanya. Bahkan menyindir pandangannya yang dianggap terlalu “progresif kiri” untuk kota yang tengah menghadapi krisis biaya hidup dan keamanan publik.
Di sisi lain, komunitas imigran, minoritas kulit berwarna, dan kelompok muda progresif melihat Zohran sebagai perwujudan impian Amerika sejati. Seseorang yang lahir di luar sistem, membawa identitasnya dengan bangga, lalu masuk untuk mengubahnya dari dalam.
Ras dan Agama di Kota Toleran
New York sering disebut sebagai melting pot dunia — rumah bagi lebih dari 180 bahasa dan puluhan etnis, termasuk komunitas Muslim yang kini tumbuh pesat di Queens dan Brooklyn. Namun di balik citra kosmopolit itu, ketimpangan rasial dan prasangka agama masih terasa. Harga sewa di kawasan kulit putih meningkat lebih lambat dibanding wilayah minoritas. Akses pendidikan dan kesehatan juga dirasakan masih timpang.
Dalam konteks itu, Zohran tampil membawa visi inklusif: kota yang tidak hanya hidup untuk kalangan atas, tetapi juga bagi mereka yang bekerja keras menjaga denyut New York. Dan meraka adalah para pekerja migran, petugas kebersihan, sopir taksi, penjaga toko, dan imigran muslim yang menjadi bagian dari wajah kota.
Tak bisa disangkal, retorika inklusivitas ini juga memantik resistensi. Sebagian pemilih kulit putih kelas menengah menganggap pendekatannya terlalu “mengorbankan stabilitas ekonomi” demi agenda kesetaraan sosial. Kampanye Cuomo, yang tampil sebagai calon independen, banyak memanfaatkan nada “stabilitas dan pengalaman” — pesan yang secara implisit menyasar pemilih yang khawatir kota ini akan bergerak “terlalu maju.”
Narasi Media dan Persepsi Publik
Liputan media memperkuat polarisasi itu. Media progresif seperti The Nation dan New York Daily Newsmenggambarkan Zohran sebagai “wajah baru politik urban yang manusiawi.” Sementara jaringan konservatif seperti Fox News menyorot risiko “eksperimen sosialisme kota besar.” Narasi ras dan agama pun kian menebal. Bukan pernyataan langsung sih, namun lewat cara media membingkai identitas Zohran. Orang ini muslim, progresif dari Queens, dan jelas.. yang menantang tatanan lama!
Di media sosial, debat publik tentang “siapa yang pantas memimpin New York” kerap disisipi komentar tentang asal-usul dan agama itu. Sentimen anti-imigran dan islamofobia, meski tak dominan, masih muncul dalam bentuk sindiran dan narasi halus tentang “nilai-nilai kota.”
Di Persimpangan Harapan dan Kenyataan
Pemilu ini pada akhirnya lebih dari sekadar kompetisi electoral. Ia sejatinya menjadi ujian bagi sejauh mana New York bisa benar-benar siap hidup dengan idealismenya sendiri. Kota ramai itu mampu menerima perbedaan, dan bukan sekadar menoleransinya.
Zohran Mamdani mungkin tidak mengklaim dirinya sebagai simbol ras atau agama tertentu. Tetapi cara publik memperlakukan dan membacanya menunjukkan bahwa politik identitas belum sepenuhnya hilang. Bahkan di New York, kota yang dinisbatkan paling terbuka itu.
Apapun hasil akhirnya, pemilu ini menandai satu titik balik penting bagi New Yorker. Ya, bahwa keberagaman di sini tak lagi cukup untuk sekadar dirayakan. Tapi sudah seharusnya mampu diterjemahkan jadi kekuasaan baru yang menolong —adil, bijak-merata, dan ruang publik yang benar-benar inklusif. Dan Hei, Apakah itu suara Zohran?
