Jangan Tunggu Diaba, ''Ledakan'' Yang Telanjur Menyapa
Pada sebuah Jumat yang mestinya teduh dan rutin, sebuah SMA negeri di Jakarta berubah menjadi ruang genting. Seorang siswa datang membawa tujuh bom rakitan. Empat di antaranya meledak, salah satunya bertepatan dengan waktu salat Jumat, menghasilkan dentuman keras, asap kelabu, dan kepanikan yang menyapu seluruh lingkungan sekolah.
Tak ada korban jiwa. Sebuah keajaiban di tengah potensi tragedi besar. Namun luka sosial dan psikologis yang tertinggal jauh lebih dalam ketimbang yang terlihat.
Pertanyaan publik langsung mengarah pada hal yang generik. Apa yang membuat seorang remaja merasa perlu membawa bom ke sekolahnya sendiri? Di balik pertanyaan itu, kita menemukan jawaban yang tak sesederhana ini, “salah pergaulan” atau “kurang pengawasan”.
Ia terletak pada simpang rumit antara kesehatan mental yang tak tertangani, dinamika keluarga yang tak stabil, dunia digital yang tanpa pagar, serta sekolah yang kerap tak mampu membaca tanda-tanda dini.
Dalam banyak kasus remaja berisiko tinggi, ada pola yang selalu berulang.
Sebelum tindakan ekstrem, biasanya sudah muncul “retakan halus”: perubahan mood tiba-tiba, ketertarikan obsesif pada aksi kekerasan, kecenderungan menyendiri, atau konsumsi konten digital yang makin gelap.
Namun ketika keluarga sibuk, sekolah berfokus pada administrasi, dan dunia digital menyediakan ruang tanpa batas, retakan itu berlalu tanpa sempat dikenali. Pada remaja yang identitasnya masih rapuh, tekanan hidup yang tak tersampaikan bisa berubah menjadi letupan destruktif.
BNPT dalam beberapa laporan internalnya menyebut peningkatan keterpaparan remaja pada konten radikal dalam tiga tahun terakhir. Di sisi lain, data Kementerian Kesehatan menunjukkan hampir 1 dari 10 remaja mengalami gangguan kesehatan mental. Tetapi dari jumlah itu, hanya sedikit yang mendapat pertolongan profesional.
Dengan kombinasi ini, kita sedang menyaksikan generasi yang lebih terhubung secara digital tetapi lebih kesepian secara emosional—sebuah kondisi yang berisiko tinggi bagi munculnya tindakan ekstrem.
Dunia Digital Penguat Gelap
Satu hal yang sering luput dari diskusi publik adalah fenomena bahwa remaja ekstrem tidak lahir dalam semalam. Selalu ada rangkaian kecil yang mengantarkannya ke pinggir jurang.
Dalam psikologi perkembangan, terdapat tiga pola umum pada remaja yang mulai mengalami kecenderungan ideasi kekerasan. Ketidakmampuan mengekspresikan tekanan, ketertarikan pada konstruksi kekuatan-destruktif, dan perasaan tidak terlihat oleh lingkungan.
Mereka bukan sekadar ingin merusak. Mereka ingin didengar, dihargai, atau sekadar diketahui keberadaannya.
Sayangnya, dunia digital memperkuat kecenderungan itu. Ketika seorang remaja mulai mencari topik tertentu, algoritma platform akan mendorongnya lebih dalam ke ruang yang sama.
Termasuk jika ruang itu adalah tutorial merakit bahan berbahaya, forum yang merayakan kekerasan, atau komunitas yang memvalidasi rasa marah dan keterasingan. Algoritma tak punya moral! Ia hanya memberi apa yang dipelajari sebagai “ketertarikan”.
Sementara itu, di dunia nyata, banyak remaja menjalani bentuk kesepian baru. Kesepian yang sunyi tetapi menggerogoti. Mereka dikelilingi teman, punya gawai, aktif di grup daring, tetapi tidak memiliki satu pun ruang aman untuk mengurai tekanan. Kebanyakan orang dewasa hanya hadir saat memarahi, bukan mendengar; saat memberi nasihat, bukan menenangkan.
Dalam situasi seperti ini, remaja mudah tersesat pada narasi ekstrem yang menawarkan identitas instan. Lebih berbahaya lagi, mereka melakukannya dalam senyap. Mereka asyik di kamar tertutup, tengah malam, bersama layar yang memantulkan dunia gelap.
Jaring Penyelamat
Kasus bom di SMA itu adalah alarm keras. Ia menunjukkan bahwa ekosistem kita masih memuat celah besar. Baik itu di keluarga, sekolah, platform digital, dan layanan kesehatan mental. Namun percayalah, celah itu bisa ditambal bila kita mengambil inisiatif konkret mengatasinya.
Pertama, sekolah harus kembali menjadi pusat pengasuhan sosial, bukan sekadar ruang/kelas akademik. Mekanisme pendampingan remaja mesti menjadi program inti, bukan pelengkap.
Dibutuhkan konselor aktif, bukan sekadar guru BK yang kewalahan. Peer support groups, sesi check-in mingguan, dan observasi perilaku yang lebih terstruktur bisa menjadi langkah awal.
Kedua, keluarga perlu mengurangi kesepian struktural. Remaja tak butuh pengawasan berlebih. Mereka butuh keterhubungan emosional. Rutinitas sederhana seperti menemani sarapan, percakapan singkat sebelum tidur, atau mendengarkan tanpa menghakimi dapat menjadi penyangga mental yang kuat. Banyak remaja hanya butuh satu orang dewasa yang benar-benar ingin mendengar.
Ketiga, literasi digital harus naik kelas. Anak-anak dan orang tua harus memahami cara kerja algoritma, risiko konten ekstrem, serta cara meminta bantuan jika menemukan materi berbahaya. Literasi digital idealnya menjadi mata pelajaran wajib, bukan sekadar seminar insidental.
Keempat, dibentuk sistem rujukan cepat antara sekolah, puskesmas, psikolog, dan lembaga sosial. Guru tak boleh kebingungan ketika melihat murid berubah drastis. Ada jalur jelas. Siapa yang dihubungi, berapa lama penanganan diberikan, dan apa tindak lanjutnya.
Pada akhirnya, tragedi ini memberi kita hikmah paling penting saat ini. Bahwa remaja bukan hanya perlu diawasi. Mereka, pendeknya, perlu ditemani. Mereka membutuhkan jaring penyelamat yang hadir sebelum semuanya terlambat. Kitalah yang seyogyanya melihat, mendengar, dan mau berada di samping mereka, ketika dunia terasa tak ramah.
Dan mungkin, pencegahan ''ledakan'' yang terdalam ada di sana. Yakni di hubungan antar-manusia yang hangat. Di percakapan kecil yang tulus. Dan, di kehadiran yang tak perlu menunggu diaba..sebuah ''ledakan'', yang akhirnya terlanjur menyapa.😢
DS
PSY 141125 411 1
