Politik Yang Membuat Kita ''Sakit''

 


Ada masa ketika politik cukup ditonton di berita malam. Kita bisa berdebat sedikit di warung kopi, lalu hidup berjalan lagi seperti biasa. Tapi sekarang, rasanya politik sudah pindah ke ruang paling pribadi: ke kepala dan ke hati kita. Ia hadir di layar ponsel, di obrolan keluarga, bahkan di mimpi buruk banyak orang.

Di Amerika, para psikolog punya istilah untuk itu: Trump Anxiety Disorder — kecemasan sosial akibat memikirkan Trump. Kedengarannya lucu, tapi sungguh nyata. Banyak orang merasa gelisah, marah, atau bahkan kehilangan harapan setiap kali membaca berita tentang presidennya. 

Gaya bicara yang memecah belah, serangan terhadap media, dan keputusan yang tak terduga membuat sebagian warga hidup dalam ketegangan konstan.

Namun, ini bukan cuma soal Amerika. Kita pun mengenal gejala serupa di sini — meski tanpa nama yang mesti disebut -- kita tahulah. Sakit sosial muncul saat politik jadi terlalu keras, ketika bahasa publik penuh caci maki, dan ketika pejabat negara berbicara dengan nada tinggi, serampangan, atau tanpa empati. 

Kadang ucapan atau sikap pejabat yang berubah-ubah dan terunggah di media,  membuat rakyat merasa bingung dan lelah. Bukan hanya kebijakan yang menekan, tapi juga ada suasana batin yang dipenuhi rasa tak percaya.

''Sakit'' ini sungguh tak bisa diukur dengan ''termometer-politik'', tentunya. Nyatanya, 'sakit' ini terasa dalam bentuk lain. Perasaan kolektif yang mudah tersinggung di media sosial, kehilangan empati, atau makin sulit mempercayai siapa pun, pada akhirnya. 

Kita, ke belakang terasa.. jadi bangsa yang cepat curiga, mudah marah, dan lelah secara batin. Semua itu tanda, bahwa kita sedang ''sakit'' atau tak sehat secara sosial.

Barangkali, sikap atau ''penyembuhan'' terhadap fenomena psikologi sosial ini tak mudah. Namun juga bisa dikatakan tak sesulit yang kita kira. Usulannya mungkin,  kita hanya perlu menurunkan tensi, menata ulang cara berbicara dan mendengar. 

Politik seharusnya memang jangan dipandang sebagai 'medan tempur'. Tapi ruang berpikir bersama. Jika masyarakat bisa sedikit lebih tenang, pemimpin pun akan kehilangan alasan untuk berteriak.  Pun berlaku sebaliknya. Dan ini, tentu bukan siapa yang berkewajiban terhadap siapa. Salinglah memahami perasaan kolektif yang mengemuka. 

Penyembuhan sejati, tentu bukan tentang siapa yang harus memulai. Namun sesungguhnya bisa dimulai ketika kita merasa berani untuk percaya lagi — pada kebaikan, pada fakta, dan pada sesama di dalam ruang publik. Ketika empati kembali hadir, dan perbedaan tak lagi terasa sebagai ancaman, perlahan-lahan kita akan merasakan pulihnya rasa kebersamaan yang sehat. Waras.

Demokrasi yang sehat perlu disadari bersama, bukan lahir dari perdebatan yang kian meruncing, caci maki atau kebencian yang membuncah. Rasa sosial yang bening dalam ruang politik kita ada di hati warga. Semua pemimpin publik harus peka mengukur ini. Karena mereka adalah championnya. Ruang publik kita enak untuk bernafas, manakala hati warga dipenuhi rasa keberterimaan: tenang, terbuka, dan jujur.

Ya, karena pada akhirnya, ruang publik yang sehat dimulai dari satu hal sederhana: ketenangan hati warganya. Tak salah kalau toh telunjuk tertuju padamu. Para pemimpin,  dewasa dan pekalah kalian!


DS

PD 03 11 25 411 1

Baca Juga
Berbagi
Suka dengan artikel ini? Ajak temanmu membaca :D
Posting Komentar