Politik Asimetris Pembagian Wilayah Gaza Hari ini!
Di tengah puing yang belum sempat disapu, Gaza memasuki babak baru yang sunyi namun menentukan. Amerika Serikat dan Israel tengah mendiskusikan pembagian Gaza menjadi dua zona: “green zone” yang aman dan siap direkonstruksi, serta “red zone” yang tetap remuk dan menampung ratusan ribu pengungsi.
Dalam bahasa teknokratis, ini disebut penataan pascakonflik. Namun pada hakikatnya, inilah rekayasa ruang paling kontroversial dalam politik global hari ini. Masa depan satu masyarakat kota dipetakan tanpa suara rakyat yang tinggal di dalamnya!
Gaza sudah lama menjadi laboratorium tragis bagi konflik yang tak selesai. Kuasa ketakadilan membentang, embargo mematikan, dan diplomasi yang bergerak lamban. Namun pembagian dua zona memperkenalkan konsekuensi baru. Sebuah hierarki ruang yang menentukan siapa yang mendapat akses pada pembangunan dan siapa yang hanya bertahan di reruntuhan.
Warga Palestina yang kehilangan rumah diarahkan ke kawasan “red zone” yang minim layanan dasar. Sementara area yang dibangun kembali justru di bawah kendali pasukan asing. Dalam desain seperti ini, stabilitas lebih diutamakan ketimbang kedaulatan. Dan, keamanan lebih menentukan ketimbang hak warga.
Pertanyaan mendasarnya, apakah ini rekonstruksi, atau penataan ulang demografis yang dibungkus jargon kemanusiaan? Luar biasa ngerii. Gaza seakan dibentuk ulang tanpa menunggu persetujuan mereka yang lahir dan tumbuh di dalamnya.
Bayang-Bayang Sejarah
Pembagian ini tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang pemindahan paksa yang dialami Palestina, dari Nakba 1948 hingga eksodus 1967. Bedanya, bahasa yang digunakan kini lebih halus: evakuasi, zona aman, koridor bantuan.
Namun hasil akhirnya tetap sama. Warga Gaza dipindahkan dari rumah mereka ke wilayah yang semakin mengecil. Ketika ruang hidup dikategorikan secara administratif, hak atas tanah perlahan mencair tanpa pernyataan resmi.
Pembagian dua zona itu juga mencerminkan logika keamanan yang kini menjadi bahasa universal politik internasional. Atas nama keamanan, banyak prinsip dasar—kedaulatan ruang, hak kembali, rekonstruksi berbasis komunitas, dipinggirkan.
Jika model ini diterapkan di Gaza dan diterima dunia sebagai solusi praktis, ia dapat menjadi preseden berbahaya bagi wilayah konflik lain. Bahwa area pascaperang dapat dipetakan tanpa proses demokratis, selama dibungkus dengan istilah stabilisasi.
Sementara itu, negara-negara Arab berada dalam dilema. Mereka ingin membantu rekonstruksi Gaza, tetapi tak ingin dicap ikut melegitimasi status politik baru yang ditentukan Israel dan AS.
Solidaritas menjadi rumit ketika tindak kemanusiaan berpotensi memermanenkan peta politik yang merugikan Palestina. Inilah tarik-menarik yang membuat Gaza terombang-ambing di antara diplomasi, tekanan internasional, dan kepentingan regional.
Masa Depan Direbut, Bukan Dibangun
Sebetulnya, pada titik paling manusiawi, persoalan Gaza kembali pada satu hal sederhana. Bagaimana sebuah masyarakat bisa hidup jika ruang geraknya ditentukan pihak luar? Kota ini bukan sekadar wilayah konflik. Saksikan, ia adalah rumah, sekolah, pasar, masjid, dan ruang yang menyimpan memori kolektif warganya.
Pembagian zona berpotensi merusak siklus alami itu. Menghalangi warga kembali ke kampung halaman, dan membatasi pembangunan hanya di bagian kota yang dipilih aktor internasional. Sudah teramat jelas posisi banding ini.
Gaza hari ini, seperti berdiri di ujung garis. Ya, garis yang membelah antara rekonstruksi atau penataan ulang, antara pemulihan atau pemisahan. Dan ini yang terpenting: antara harapan atau penghapusan perlahan! Dunia mungkin melihat pembagian dua zona sebagai solusi teknis, tetapi bagi warga Gaza, ia adalah pertanyaan eksistensial.
Ini sebetulnya tentang masa depan siapa yang sedang dibangun? Siapa yang boleh kembali dan siapa yang tidak ke rumahnya sendiri? Dan, lalu siapa yang menentukan arah kota yang hancur ini di masa depan?
Tidak ada yang sederhana dalam persoalan Gaza. Itu kita semua mahfum. Tapi satu hal pasti: masa depan yang dirancang tanpa suara rakyatnya hanya akan memperpanjang konflik, bukan menyelesaikannya.
Dan selaiknya kita pahami, jika dunia ingin menulis bab baru bagi Gaza, bab itu harus dimulai dari ruang yang dipulihkan bersama rakyat Palestina. Bukan dari garis-garis yang ditarik di meja diplomasi. Dan jelas sekali, itu sungguh-sungguh terlihat sangat asimetis! (Dari semua sisi)..
DS
PI 161125 411 1
