New York vs Washington — Politik Dua Pusat yang Saling Mengintai
Beberapa pekan setelah euforia kemenangan Zohran Mamdani, udara politik Amerika terasa seperti sedang menahan napas panjang. New York memancarkan energi baru — energi kota yang haus keadilan sosial — sementara Washington menyusun kalkulasi baru: bagaimana menghadapi politik yang tak lagi berbicara dengan bahasa kekuasaan, melainkan dengan moral.
Dalam dinamika ini, tampak jelas bahwa Amerika sedang mengalami benturan antara legitimasi moral dan legitimasi institusional. Mamdani membawa yang pertama; Washington masih menggenggam yang kedua.
Struktur Lama yang Goyah
Sejak lama, Washington berperan sebagai penjaga stabilitas simbolik dalam politik Amerika. Ia bukan sekadar pusat pemerintahan, tetapi the custodian of continuity — penjaga kesinambungan, bahkan ketika arah moral bangsa berubah.
Ketika Mamdani menang, ia tak hanya memenangi jabatan, tetapi menantang seluruh modus eksistensi politik federal yang selama ini beroperasi dalam tiga asumsi dasar:
· Bahwa kekuasaan adalah hasil negosiasi, bukan keyakinan.
· Bahwa stabilitas lebih penting daripada keadilan.
· Bahwa “Amerika” adalah konstruksi ideologis yang harus seragam di semua tingkat pemerintahan.
Kemenangan Mamdani mengguncang ketiga fondasi itu sekaligus. Ia menunjukkan bahwa legitimasi moral — kepercayaan publik yang lahir dari empati, ketulusan, dan kejujuran — bisa mengalahkan legitimasi struktural yang selama ini dijaga Washington dengan disiplin besi.
Paradoks Kekuasaan
Ketika Trump melunak dan mengatakan bahwa ia “ingin kota sukses, asal Mamdani menghormati Washington,” publik membacanya sebagai tanda pelemahan. Namun secara sosiologis, pernyataan itu lebih rumit daripada sekadar menyerah.
Trump sedang memainkan politik ambiguitas — seni klasik mempertahankan relevansi di tengah kehilangan kendali. Ia tahu, bahwa menyerang Mamdani secara frontal hanya akan memperkuat posisi moral lawannya.
Maka ia memilih untuk “merestui sambil mengawasi” — gestur yang tampak lembut tapi menyiratkan pesan: Washington masih ingin mengontrol arah narasi perubahan. Dengan begitu, Trump melemah bukan karena kehilangan kekuasaan formal. Tapi karena struktur hegemonik yang menopangnya, mulai retak.
Sejatinya, Mamdani tak hanya mengalahkan kandidat lain dalam pemilu yang barusan. Ia hanya menggeser sumbu makna politik itu sendiri. Dari “kekuasaan atas orang” menjadi “tanggung jawab kepada manusia.”
Menuju Hegemoni Moral
Kita bisa melihat fenomena ini melalui lensa Antonio Gramsci. ‘’Kekuasaan bertahan bukan karena represi, melainkan karena consent — persetujuan moral yang diberikan masyarakat’’.
Selama dua dekade terakhir, consent itu dimiliki oleh Washington, berkat kemampuannya membungkus kepentingan ekonomi dengan retorika demokrasi.
Namun kini, consent itu mulai berpindah ke New York, di mana politik tidak lagi tampil sebagai institusi, melainkan sebagai gerakan afektif; kumpulan emosi, keyakinan, dan solidaritas moral.
Mamdani, Hashmi, dan generasi baru progresif Muslim-Amerika bukan hanya berhak secara official memimpin saat ini. Yang pasti, mereka kini adalah pengusung wacana hegemoni baru. Karena, ‘’etika bisa menjadi sumber kekuasaan politik yang sah’’.
Negosiasi Tak Terhindarkan
Namun perubahan moral tidak serta-merta menjadi perubahan struktural. Washington tetap memiliki instrumen koersif — anggaran, lembaga federal, jaringan partai, dan legitimasi internasional.
Mamdani akan menghadapi apa yang disebut para teoretikus politik sebagai institutional inertia. Yakni kekakuan sistem yang menolak bergerak secepat nilai-nilai baru yang menuntutnya berubah.
Ia akan diuji bukan hanya pada niat, tapi pada kemampuan menavigasi kekuasaan tanpa kehilangan kemurnian etika.
Dan di sinilah paradoksnya. Untuk mengubah sistem dari dalam, ia harus bermain di atas papan catur yang masih diatur oleh musuhnya!
Dialektika
Hubungan New York–Washington ke depan mungkin akan menyerupai dialektika Hegelian. Tesis tentang moralitas politik New York akan berhadapan dengan antitesis pragmatisme politik Washington.
Dari ketegangan itu mungkin akan lahir sintesis baru — sebuah bentuk politik Amerika yang lebih sadar moral, namun tetap canggih secara institusional.
Namun jika salah satu terlalu dominan, sejarah semestinya akan berulang:
· Bila moral terlalu idealis tanpa basis struktural, ia akan hancur oleh birokrasi.
· Bila struktur terlalu kaku tanpa arah moral, ia akan lapuk oleh sinisme publik.
Amerika kini berdiri di antara dua arus besar itu — dan mungkin, seperti yang pernah dikatakan Reinhold Niebuhr,
“Man’s capacity for justice makes democracy possible; but man’s inclination to injustice makes democracy necessary.”
Epilog
Di tengah riuh retorika politik dan perhitungan strategi, kemenangan Mamdani dan sikap melemah Trump memperlihatkan sesuatu yang lebih dalam. Sepatutnyalah, ada pergeseran sumber legitimasi dari kekuasaan menuju kesadaran moral.
Washington masih memegang kunci, tetapi New York kini memegang cermin. Dan, siapa pun yang ‘’berkuasa’’, pada akhirnya harus menatap bayangan dirinya di sana.
Mungkin inilah babak baru dalam sejarah politik Amerika. Ketika kekuasaan berhenti merasa abadi, maka nurani mulai berbicara dengan suara yang, nadanya, tak mungkin bisa dibungkam lagi!
DS
PD 081125 411 1
