Mencari Hidup di Lahan Sekarat – Klinik Bekas (Luka) Tambang: Ada!
Dulu, tanah-tanah itu adalah sumber kekayaan. Tempat logam berkilau atau batu bara diangkat dari perut bumi. Hasil tambang itu memakmurkan. Menggerakkan industri, nyalakan listrik, dan jadi sumber kemakmuran. Namun kini, banyak di antaranya justru menjadi bentang sunyi.
Kubangan luas yang menampung air hujan, rumput ilalang, dan kenangan tentang kejayaan yang usai lewat. Lahan bekas tambang di Indonesia adalah cermin dari sebuah zaman. Era ketika pertumbuhan ekonomi didahulukan, sementara pemulihan dibiarkan menunggu giliran, yang tak pernah datang!
Namun di luar sana, beberapa negara telah membalik arah sejarahnya. Dari Jerman hingga Australia, dari Kanada hingga Afrika Selatan, mereka mencoba mengubah bekas tambang menjadi ruang hidup baru.
Dunia belajar, bahwa tanah yang pernah dieksploitasi menyakitkan itu, bukannya harus mati. Ia bisa kemudian disulap menjadi taman, danau, bahkan laboratorium bagi masa depan ekologi.
Jejak dari Negeri Seberang
Di Jerman, lembah Lusatia pernah menjadi wilayah tambang lignit raksasa. Pusat energi yang menghidupi Eropa selama puluhan tahun. Saat tambang mulai ditutup pada 1990-an, pemerintah tak membiarkannya menjadi gurun tandus. Mereka membentuk lembaga khusus, LMBV, untuk menata kembali lanskap bekas tambang itu.
Dua puluh tahun kemudian, ‘’luka-luka’’ tambang itu berubah menjadi rangkaian danau dan hutan muda. Kota-kota kecil yang dulu suram, kini menjadi kawasan wisata air yang ramai. Di sana, transisi energi bukan hanya soal mengganti sumber daya. Tapi juga menyembuhkan tanah.
Australia memilih pendekatan berbeda. Mereka memraktekkan progressive rehabilitation—pemulihan bertahap yang dimulai bahkan sebelum tambang henti operasi. Di tambang Mount Whaleback dan Ensham, perusahaan diwajibkan menutup dan memulihkan sebagian area setiap tahun.
Bukan itu saja, pemerintah mewajibkan penyertaan jaminan finansial (rehabilitation bond) agar usaha tambang tak bisa lari dari tanggung jawab. Prinsipnya sederhana, bumi harus dikembalikan setiap kali ia diambil. Nah!
Di Kanada, filosofi reklamasi melampaui fungsi ekonomi. Di provinsi Alberta dan British Columbia, lahan pascatambang dijadikan taman konservasi, pusat riset biodiversitas, bahkan ladang panel surya. Pendekatan mereka bukan nostalgia terhadap lanskap lama. Melainkan menciptakan ‘’makna baru’’ atas tanah yang sama.
Mereka menyebutnya post-mining ecosystems—sebuah konsep yang memandang bumi sebagai organisme yang bisa tumbuh kembali. Bukan sekadar permukaan yang disembunyikan, di balik tanaman semusim yang ditanam ala kadarnya.
Cermin untuk Indonesia
Sudah jamak kita tahu. Indonesia berada di sudut ruang yang tak beda dengan mereka. Namun lihatlah. Dari Pulau Bangka hingga Kalimantan Timur, lebih dari sepuluh juta hektare tanah telah digali demi timah, nikel, dan batu bara. Dari luasan itu, hanya sebagian kecil yang benar-benar direstorasi.
Ribuan lubang menganga. Sebagian menjadi danau beracun, sebagian lain menjadi kuburan diam, (duh!) bagi anak-anak kita yang semula asyik bermain terlalu dekat dengan lokasi bekas tambang.
Negara sebetulnya telah memiliki aturan reklamasi dan dana jaminan pascatambang. Tetapi semua juga tahu, pelaksanaannya masih rapuh. Dokumen disusun, laporan dikirim, lalu sunyi.. Korporasi yang menikmati hasilnya sering ngacir sebelum menuntaskan kewajiban. Di banyak tempat, masyarakat lokal bahkan tidak tahu bahwa tanah di sekitar mereka sudah “ditinggalkan” secara hukum. Huh! Sungguh tak berpriketetanggaan!
Kalau mau sih.. sesungguhnya Indonesia punya peluang besar untuk membalikkan narasi itu. Lahan bekas tambang timah bisa menjadi taman air dan budidaya ikan seperti model post-mining lakes di Eropa. Tambang nikel di Sulawesi dapat dipadukan dengan restorasi vegetasi endemik dan energi surya.
Sementara bekas tambang batu bara di Kalimantan dapat menjadi kawasan karbon dan wisata ekologis. Namun semua itu kini masih tetap jadi dongeng. Itu semua membutuhkan rencana lintas kementerian, Dan tentu sahaja lintas dekade, bukan jadi proyek semusim.
Dari Bekas ke Harapan
Coba simak sebentar yang ini. Kita ini Ajaib. Hidup di masa aneh. Logam dan mineral kini menjadi simbol ‘masa depan hijau’ dunia. Tapi proses mendapatkannya masih saja meninggalkan jejak kotor. Indonesia, jika berani menata ulang paradigma pascatambangnya, bisa menulis cerita berbeda.
Kita bisa membantah pemeo ‘’manusia mati di lumbung padi’’. Jadi epos, tentang negara yang tak hanya (berani) menggali bumi. Tapi (berkemampuan) merawatnya kembali.
Mungkin perlu digarisbawahi. Pemulihan lahan bukan sekadar urusan teknis, melainkan moral. Ia menguji sejauh mana kita memahami makna kemajuan. Karena aslinya, bumi memang tak pernah benar-benar mati. Ia hanya menunggu manusia yang cukup sabar.. untuk menumbuhkannya kembali.
Dan mungkin, suatu hari nanti (semoga tak terlalu lama). Ketika pesawat udara kita melintas di atas Bangka, Morowali, atau Samarinda, yang terlihat bukan lagi lubang tambang menganga. Saat itu kita akan berdecak kagum. Lubang-lubang telah disulap menjadi mahakarya lingkungan.
Menandakan kemauan sebuah bangsa yang tak lagi abai terhadap tanggungjawab lingkungannya. Ketika itu kita bersyukur, bahwa tangan-tangan bijak telah berkeringat membalikkan laju sejarah suram. Kerusakan (parah) tak terbendung, lingkungan pascatambang..
DS
DNL 041125 411
