Ketika Jiwa Tersesat di Dalam Layar



Di ruang rawat psikiatri anak sebuah rumah sakit besar di Jakarta, seorang remaja berusia 15 tahun duduk diam menatap dinding putih. Sudah tiga bulan ia berhenti sekolah. Setiap kali layar ponselnya diambil, tubuhnya gemetar, napasnya cepat, matanya panik. Dokter menyebut kondisinya sebagai nomophobia — no mobile phone phobia, ketakutan irasional ketika terpisah dari gawai.


“Ini bukan sekadar kecanduan,” ujar – sebut saja, dr. Richard., SpKJ, psikiater yang menanganinya. “Ia kehilangan orientasi realitas.” Dalam istilah klinis, kondisi itu termasuk digital dissociation

Maksudnya, seseorang yang secara perlahan terlepas dari dunia nyata. Hidupnya berpindah ke ruang virtual yang menawarkan dopamin instan, tapi tanpa makna.


Di era layar sentuh ini, dopamin — zat kimia kecil yang bertanggung jawab atas rasa senang — menjadi biangkeladi dari banyak gejala kejiwaan anyar. Ketergantungan baru pengguna pada notifikasi yang berbunyi, jumlah likes yang naik, pesan yang terbaca. 


Semuanya itu menciptakan siklus penghargaan instan dalam otak. Mirip dengan yang ditemukan pada pengguna narkoba ringan. Bedanya, kali ini sumbernya bukan jarum suntik, tapi layar lima inci yang selalu ada di tangan.


Dalam beberapa penelitian psikiatri, terutama yang dilakukan oleh American Psychiatric Association (APA), ditemukan bahwa paparan layar lebih dari 4 jam per hari pada anak dan remaja bisa meningkatkan risiko anxiety disorder, attention deficit symptoms, bahkan sleep deprivation psychosis. Yang terakhir adalah gejala halusinasi ringan akibat gangguan tidur kronis.


Dopamine Fatique Syndrome


Namun, di balik istilah-istilah medis itu, ada tragedi yang lebih dalam. Yakni hilangnya kemampuan manusia untuk hadir secara utuh dalam komunikasi normal. Banyak pasien muda datang ke ruang konseling sudah tak lagi mampu menatap mata lawan bicara. Mereka bicara cepat, seperti mengetik pesan di kepala. Ketika diminta menggambar perasaan, hasilnya datar: layar kosong.. 


Dalam psikologi perkembangan, keadaan ini diistilahkan deprivation of affective resonance — kemiskinan resonansi emosi. Manusia, layaknya memang belajar empati dari wajah dan suara, bukan dari emoji. Ketika interaksi tatap muka tergantikan oleh komunikasi digital, koneksi antar-jiwa ikut terkikis.


Dokter jiwa sering menemukan gejala baru yang tidak ada di buku teks dua dekade lalu. Gejala baru itu dinamai “dopamine fatigue syndrome.” Keadaan, di mana pasien merasa cepat bosan terhadap kegiatan dunia nyata. Alasannya ya karena rangsangan digital telah menaikkan ambang kesenangan mereka, jadi terlalu tinggi. 


Akibatnya, dunia serasa jadi jauh lebih lambat, membosankan, dan ‘kurang berwarna’. Kondisi ini sering berujung pada depresi laten. Bukan karena sedih, tapi karena kehilangan kemampuan untuk merasa.


Digital Detox


Beberapa psikiater kini mulai mendorong terapi digital detox sebagai bagian dari pemulihan mental. 

Bukan sekadar berhenti main gadget, tapi Si Anak/ Remaja diminta memulihkan ritme alami otak yang terbentuk lewat keheningan, tatapan, dan interaksi manusiawi. 


Dr. Gabor Maté, seorang ahli trauma dan adiksi asal Kanada, menyebut fenomena ini sebagai “the erosion of presence” — terkikisnya kehadiran manusia akibat banjir stimulan digital.


Namun demikian peran lingkungan jelas sangat memengaruhi situasi kesehatan terkait hal ini. Terapi tak akan cukup jika masyarakat terus memuja konektivitas tanpa batas. Sekolah mengejar sistem online learning tanpa jeda. Orang tua menenangkan anak dengan layar. Perusahaan menuntut karyawan selalu “on line.”'


Dan, memang begitulah situasinya kini. Kita semua, saat ini sedang hidup di laboratorium sosial yang menguji, seberapa lama jiwa kita, manusia, bisa bertahan tanpa keheningan. Kesimpulannya, persis seperti apa yang disampaikan psikiatri kita di RS Jakarta itu, “Yang rusak bukan hanya otak, tapi rasa.”


Dan dalam kegentingan adaptasi ini, mungkin pula, yang kita perlukan bukanlah kebutuhan akan sinyal yang lebih kuat atau cepat. Justru hari-hari ini kita membutuhkan jeda.  


Kondisi sadar akan kebutuhan istirah. Jeda. Untuk kembali mencumbui, mengakrabi ''dunia-di luar layar'' yang sehat bagi jiwa. Situasi yang diharapkan mampu melatih ulang kepekaan suara hati, yang tentunya.. tak bisa (lagi) kita ketik.


Gadget bagai candu. Bagus periksa kembali, seberapa ‘’waras’’ relasi kita, anak-anak dan remaja dengan apa yang kita genggam, tiada jeda. Sudah mati rasa? Ba-ha-ya!♦

 

DS

PSY 081125 411 1

 

Baca Juga
Berbagi
Suka dengan artikel ini? Ajak temanmu membaca :D
Posting Komentar