Kesehatan dalam Krisis Iklim, Ancaman yang Menyelinap di Setiap Nafas
Di tengah padatnya udara Jakarta di pagi hari, seorang ibu muda menuntun anaknya ke klinik paru. Si kecil batuk tanpa henti—bukan karena infeksi, melainkan karena udara yang ia hirup setiap hari. Kisah seperti itu menjadi lazim di berbagai kota padat dunia. Di New Delhi, Beijing, dan Lagos, kisah serupa terulang jutaan kali. Paru-paru kita, kini sedang bertempur melawan sesuatu yang nyatanya, namun tak terlihat.
Kita tanpa sadar, kini sedang hidup di tengah ''pandemi senyap''. Bukan karena virus, tapi dapat dipastikan, oleh udara yang kita hirup setiap hari!
Pembunuh Tak Kasatmata
Angka-angka ini akan bercerita. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 9 dari 10 orang di dunia menghirup udara tercemar setiap hari. Setiap tahun, polusi udara menjadi kebab sekitar 7 juta kematian dini. Jumlah itu, artinya melampaui angka gabungan korban malaria, HIV/AIDS, dan tuberkulosis di dunia.
Bisa membayangkan tidak, ada partikel di dalam udara kotor yang begitu ''mematikan''. Partikel mikroskopis PM2.5, Particular Matter ukuran kurang dari 2.5 mikrometer, mampu menembus paru-paru kita hingga ke aliran darah. Partikel terkontaminasi itu memicu stroke, penyakit jantung, kanker paru, dan asma pada kita daÅ„, yang paling rentan..anak-anak. Inilah, apa yang disebut WHO sebagai “risiko kesehatan lingkungan terbesar di dunia.”
Yang tambah menyesakkan dada adalah, ''tragedi'' ini rupanya bukan milik semua orang. Tak adil memang. Negara-negara berkembang menanggung beban terberat. Di Bangladesh, India, dan Indonesia, kadar partikel halus melampaui ambang batas aman WHO. Besarannya hingga lima kali lipat.
Di Afrika, polusi udara kini sudah menjadi sebab kematian terbesar kedua setelah malnutrisi.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka mencerminkan ketimpangan ekologis: mereka yang paling sedikit menyumbang emisi justru menjadi korban paling parah.
Ketika Iklim dan Kesehatan Bertabrakan
Krisis polusi udara, sejatinya memang tak bisa dipisahkan dari perubahan iklim. Keduanya digerakkan oleh sumber yang sama. Dosa dari pembakaran batu bara, minyak, dan gas yang kita lakukan saban hari. Setiap tarikan napas yang kita ambil hari ini, tak lain adalah gejala dari ''demam'' yang sama, yang sedang memanaskan planet ini.
Satu rangkaian siklikal. Kenaikan suhu global memperburuk kualitas udara melalui kebakaran hutan, pembentukan ozon permukaan, dan debu kekeringan.
Lihat faktanya. Pada 2024, kebakaran hutan di Kanada yang parah melepaskan lebih dari 2,3 miliar ton CO₂. Angka ini setara dengan emisi yang diprodusir industri dan rumahtangga seluruh India selama 1 tahun. Dampak langsung dari ''tragedi'' ini, asap kebakaran menyelimuti hampir seluruh Amerika Utara. Jelas semla aktivita normal terganggu, sekolah ditutup, pekerja bergerak terbatas dan sejumlah jadual penerbangan dihentikan.
Riset menyebut, gelombang panas perkotaan—yang diperparah oleh kabut asap—menyebabkan lebih dari 400.000 kematian per tahun. Setidaknya itu yang ditulis The Lancet Countdown dalam laporan mengenai Kesehatan dan Perubahan Iklim.
Tubuh manusia, ternyata, tak memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap racun yang dihirup setiap hari.
Lingkaran setan ini menjerat dunia. Siklus klasiknya, bumi makin panas → polusi makin parah → tubuh makin rapuh. Sebuah siklus asap, panas, dan akhirnya..keheningan.
Pencuri Umur Anak
Yang paling rentan, sekali lagi, adalah anak-anak. UNICEF mencatat bahwa lebih dari 90% anak di dunia menghirup udara beracun setiap hari. Paparan sejak dalam kandungan, terbukti mengganggu perkembangan otak dan menurunkan kemampuan kognitif.
Sebuah studi di Nature Communications (2023) menunjukkan bahwa anak-anak yang terpapar PM2.5 tinggi mengalami penurunan IQ rata-rata 3–5 poin pada usia 10 tahun. Di negara berkembang, polusi udara secara perlahan ''mencuri masa depan satu generasi'' sebelum mereka sempat hidup mencapai usia dewasa..
Sistem Kesehatan yang Terengah
Polusi udara kini bukan lagi isu lingkungan, an sich. Tetapi kondisi ini sudah merupakan suatu situasi ''darurat kesehatan masyarakat'' yang menuntut tanggungjawab respon kita segera.
Setiap kali indeks kualitas udara melonjak dapat dipastikan rumah sakit akan terasa kewalahan dengan peningkatan pasien yang diakibatkannya. WHO memperkirakan biaya ekonomi akibat polusi udara mencapai 8,1 triliun dolar AS per tahun. Itu artinya setara dengan 6,1% dari PDB global!
Lalu setanggap apa kita dałam mengantisipasi hal ini? Jangan heran, reaksi sebagian besar sistem kesehatan masih (tetap) bersifat reaktif dan bukannya preventif. Dan parahnya, hanya sedikit sekali negara yang memiliki kemampuan mengintegrasikan data kualitas udara ke dalam perencanaan kesehatannya.
Gambaran satirenya adalah ''kebijakan iklim didikte ekonom dan teknokrat energi, sementara para dokter berkeajiban mengobati akibatnya''.
Seperti diingatkan Dr. Maria Neira, Direktur Kesehatan Lingkungan WHO:
“Perubahan iklim bukan sekadar krisis lingkungan—ini adalah krisis kesehatan. Paru-paru anak-anak kita adalah harga yang kita bayar, untuk ketergantungan pada bahan bakar fosil.”
Jalan Menuju Udara Bersih
Jejak para pejuang sistem bukannya nihil. Dan harapan itu tetaplah ada. Manakala kita menyadari bahwa setiap langkah menuju udara bersih, mengandung arti langkah menuju stabilitas iklim.
Contonya Swedia dan Kosta Rika. Upaya kedja pemerintah itu menunjukkan bahwa transisi energi bersih menurunkan emisi sekaligus menekan angka rawat inap pasien di Rumah Sakit.
Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan bahwa pencapaian target Perjanjian Paris 1,5°C (kenaikan shut) dapat menyelamatkan hingga ''satu juta jiwa per tahun'' berkat udara lebih bersih.
Beberapa langkah yang sudah direkomendasikan menuju udara bersih antara lain kita catat:
Menghapus batu bara dan solar. Ini dimulai dari energi dan transportasi perkotaan.
Investasi pengembangan transportasi publik hijau dan ruang hijau kota. Target mampu menurunkan PM2.5 hingga 25%.
Integrasi data kualitas udara ke dalam kebijakan kesehatan. Upaya perencanaan pemerintah agar memiliki respon cepat saat polusi melonjak.
Pendidikan publik. Harus didesain berkelanjutan, seperti kampanye “Langit Biru” di Tiongkok yang mampu menurunkan konsumsi batu bara di kota besar hingga 40% antara 2013–2020.
Persamaan Moral
Pernahkah kita membayangkan kalkulasi matematis dari upaya sehat kita di ruang iklim yang tak ramah ini. Kita sering berbicara tentang ''perubahan iklim'' dalam satuan “ppm” karbon dioksida. Pertanyaan mungkin, bisakah kita membuat satu ekivalensi.
Seharusnya, kita mendekatkan ''satuan hitung'' perubahan iklim dalam satuan semisal detak jantung, kapasitas paru, atau tahun-hidup yang hilang. Dengan satuan-hitung-sehat itu, kita bisa melakukan kalkulasi lebih mendekati dałam kerangka menggambarkan pengaruh kesehatan dalam iklim yang berubah.
Bicara adilnya, udara bersih ini adalah hak dasar kita. Dan bukannya kemewahan yang hanya diperuntukkan bagi yang ''mampu'' sahaja.
Dan dalam kerangka keadilan itu, hari ini sesungguhnya telah terbuka medan perang baru. Perangnya, tentu pada akhirnya adalah bentuk upaya menyelamatkan planet. Dan perang yang paling substansial abad ini tentunya adalah perang untuk mempertahankan napas lega, dalam ruang yang menghangat, menyesakkan itu.
Kalau begitu, pertanyaan kita paling penting hari ini, bukan lagi ''apakah kita 'mampu bertindak' untuk merespon kecenderungan''. Namun pertanyaan hakikat, "Apakah kita mampu bertahan, jika tak ada aksi apapun yang kita lakukan untuk itu, hari ini!?''
DS
LG 091125 411 1
