Hai Manusia, Berhentilah Memblokade Gaza!

 

         Rumah sakit Indonesia di Gaza- Thanks Mer-C


Di antara reruntuhan rumah sakit yang tinggal dinding, seorang dokter muda menatap bayi yang menggigil di pelukannya. Oksigen telah habis sejak tiga hari lalu. Listrik hanya menyala beberapa jam sehari. 

Di luar jendela, antrean perempuan menunggu setetes air bersih yang kini lebih berharga ketimbang emas. Dunia diam. Hanya suara drone yang berputar di langit Gaza, seperti penanda, bahwa kemanusiaan telah kehilangan arah.

Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 69.000 nyawa telah melayang sejak perang kembali berkecamuk di Gaza. Namun, angka itu hanyalah statistik di layar berita. Di baliknya ada tubuh-tubuh yang tak sempat dimakamkan, anak-anak yang tak lagi mengenal arti bermain. Dan, orang tua yang menatap kosong reruntuhan masa depan. 

WHO menegaskan, wilayah Gaza kini berada di ambang bencana kemanusiaan total. Kelaparan meluas, rumah sakit lumpuh, dan sistem air bersih hampir sepenuhnya runtuh.

Blokade telah menjadikan Gaza penjara terbesar di dunia. Tak ada kebebasan bergerak, tak ada pasokan medis memadai, tak ada jalan keluar bagi pasien sekarat. Dalam satu tahun terakhir, lebih dari setengah fasilitas kesehatan berhenti berfungsi. 

Sekitar 80 persen penduduk bergantung pada bantuan pangan. Bantuan yang bahkan tak selalu bisa masuk karena pembatasan perbatasan. Di rumah sakit Al-Shifa, operasi sering dilakukan tanpa anestesi penuh, karena stok obat tak pernah datang tepat waktu.

Dunia modern yang mengaku beradab menyaksikan semua itu dengan mata terbuka. Negara-negara besar saling berunding di ruang diplomasi, tetapi bayi-bayi Gaza tetap lahir di ruang bawah tanah. Ini bukan lagi soal politik. 

Ini soal kemanusiaan yang dirampas atas nama pertikaian yang berat sebelah. Setiap palet bantuan yang tertahan di perbatasan adalah bentuk baru kekerasan. Kekerasan yang tamparknya halus, tapi mematikan.

Di abad ketika manusia bisa menjejakkan kaki ke Mars dan menciptakan kecerdasan buatan, kita gagal mengirimkan air bersih sejauh 40 kilometer ke Gaza. Ironi peradaban kita bukan terletak pada teknologi hari ini. Tapi pada kehilangan empati

Kita telah membangun tembok lebih tinggi ketimbang jembatan. Menegakkan argumen lebih keras ketimbang welasasih. Gaza adalah cermin paling jujur. Betapa kemajuan tanpa nurani hanyalah bentuk lain dari kebutaan kolektif.

Seruan untuk Manusia!

Hai manusia! Stop! Berhentilah membela kekerasan dengan dalih sejarah. Hentikan blokade yang telah membunuh lebih banyak anak ketimbang musuh. Setiap tetes air yang tertahan di perbatasan adalah pengkhianatan terhadap nurani kita sendiri. 

Dunia tak kekurangan sumber daya. Jelas. Yang kita kurang hari ini adalah: ke-be-ra-ni-an! Untuk mengatakan bahwa semua ini “cukup sudah”!

Bantu Gaza bukan karena mereka Palestina. Bantu mereka karena mereka manusia! Mereka adalah kita. Seperti kita, yang ingin hidup normal, makan, bernapas, dan bermimpi. Hentikan blokade, bukan demi politik. Tapi demi kelangsungan rasa kemanusiaan kita sendiri.

Kita tahu, bila dunia terus menutup mata terhadap Gaza, sungguh yang sedang mati pelan-pelan bukan hanya anak-anak, orang-orang lapar dan sakit yang sedang sekarat. Tapi, kalian semua saksikan dan dengarkan! Yang mati sejatinya adalah rasa. Hati nurani kita, sebagai manusia!💢


DS

GP 091125 411 1

Baca Juga
Berbagi
Suka dengan artikel ini? Ajak temanmu membaca :D
Posting Komentar