Tantangan Baru Indonesia Paska Keanggotaan BRICS -- Antara Ambisi Global dan Realitas Domestik


Di tengah riuh rendah pergeseran kekuatan dunia, Indonesia resmi menjadi anggota penuh BRICS — blok ekonomi yang kini menampung Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, dan beberapa anggota baru dari Asia serta Timur Tengah. 

Keanggotaan ini menandai babak baru dalam diplomasi ekonomi Indonesia: dari pemain regional menjadi bagian dari forum kekuatan global alternatif. Namun, seperti setiap lompatan sejarah, langkah ini juga memunculkan pertanyaan besar — apakah Indonesia siap menghadapi konsekuensi strategis dan ekonomi dari posisi barunya?

BRICS: Simbol Perlawanan 

BRICS awalnya lahir sebagai gagasan ekonomi, simbol pergeseran pusat gravitasi dunia dari Barat ke Timur dan Selatan. Kini, setelah dua dekade, ia telah berkembang menjadi wadah politik-ekonomi yang menantang dominasi lembaga keuangan Barat seperti IMF dan Bank Dunia.

Masuknya Indonesia memperkuat klaim BRICS sebagai representasi suara global selatan, dengan populasi gabungan lebih dari 45% penduduk dunia dan hampir 36% PDB global (PPP).

Bagi Indonesia, ini bukan sekadar pencapaian diplomatik. Ini adalah pernyataan identitas — bahwa Jakarta ingin keluar dari bayang-bayang “negara berkembang yang patuh” menjadi kekuatan yang berdaulat dalam menentukan arah ekonomi dunia.

Presiden menegaskan, “Kita tidak ingin hanya menjadi pasar bagi industri besar dunia. Kita ingin menjadi produsen dan pengambil keputusan.'', ujarnya. Namun, sudah menjadi hukum, cita-cita besar selalu datang bersama ujian besar pula.

Antara Pertumbuhan dan Ketimpangan

Tantangan pertama datang dari rumah sendiri. BRICS bukan hanya forum politik, tapi juga ajang pembuktian ekonomi. Negara-negara anggota umumnya memiliki mesin industri besar, kapasitas ekspor kuat, dan cadangan devisa yang masif. 

Di sini, posisi Indonesia terlihat rapuh. Pertumbuhan ekonomi kita memang stabil di kisaran 5%, tetapi basis industrinya belum cukup dalam. Hilirisasi nikel dan mineral lain baru tahap awal, sementara ketergantungan pada komoditas mentah masih tinggi.

Masalah lain adalah ketimpangan. Hampir 60% PDB masih terkonsentrasi di Jawa, sementara kawasan timur tertinggal. Dunia akan menilai bukan hanya potensi, tapi kemampuan Indonesia menyeimbangkan pertumbuhan agar tidak menciptakan kesenjangan sosial baru.

Dalam konteks BRICS, ini penting. Sebab forum ini mendorong integrasi ekonomi selatan-selatan: perdagangan lintas anggota, investasi dalam mata uang lokal, dan pembentukan New Development Bank (NDB) sebagai alternatif IMF. 

Pertanyaannya: apakah Indonesia siap berkontribusi secara nyata, atau hanya akan menjadi penonton di meja besar?

Seimbang di Tengah Polarisasi

BRICS kini bukan hanya forum ekonomi — ia telah menjadi poros politik global yang diidentifikasi sebagian pihak sebagai “anti-Barat”. Rusia dan Tiongkok memiliki agenda strategis yang sering bertabrakan dengan kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya.

Masuknya Indonesia otomatis menempatkan diplomasi Jakarta di jalur sempit: antara menegaskan kemandirian dan menghindari konfrontasi dengan mitra lama seperti AS, Jepang, dan Uni Eropa.

Selama ini, politik luar negeri Indonesia berlandaskan prinsip “bebas dan aktif” — bebas dari blok manapun, tapi aktif dalam memperjuangkan perdamaian dan keadilan global. Prinsip ini akan diuji habis-habisan di BRICS. Apalagi, Indonesia juga anggota penting G20, ASEAN, dan mitra dagang utama Barat.

Lalu, bagaimana menjaga semua hubungan itu tanpa menimbulkan kecurigaan? Inilah seni keseimbangan diplomasi yang harus terus diasah.

Sebagai contoh, ketika BRICS memperluas penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan, Indonesia bisa diuntungkan melalui pengurangan ketergantungan dolar. Namun, langkah ini juga bisa memicu tekanan dari pasar keuangan Barat atau rating agencies yang khawatir terhadap stabilitas moneter.

Ujian Kelembagaan: Manfaat Nyata bagi Negeri

Bergabung ke forum global besar tidak otomatis membawa manfaat. Banyak negara masuk BRICS dengan ekspektasi tinggi, tetapi tidak semua mampu memanfaatkan jejaring finansial dan teknologi di dalamnya. 

Agar tidak sekadar menjadi simbol politik, Indonesia perlu strategi yang jelas: bagaimana menarik investasi lintas anggota BRICS untuk memperkuat manufaktur, logistik, dan riset teknologi domestik.

New Development Bank (NDB) — lembaga keuangan BRICS yang digadang sebagai “alternatif IMF” — menjadi peluang besar. Indonesia bisa menggunakannya untuk pembiayaan infrastruktur hijau, digitalisasi, dan transisi energi tanpa syarat politik seperti pinjaman konvensional.

Namun, syaratnya: tata kelola ekonomi nasional harus kredibel. Dunia tak akan percaya pada negara yang tidak bisa mengelola fiskal, hukum investasi, atau birokrasi secara transparan. Kredibilitas, bukan dibangun lewat retorika, tapi lewat keandalan institusi. Inilah ujian sesungguhnya yang kudu dijawab dengan fasih.

Risiko Geopolitik

Dunia saat ini terbelah dalam dua arus besar: blok demokrasi Barat dan blok multipolar yang dipimpin Tiongkok-Rusia. BRICS sering dipersepsikan sebagai poros kedua. Indonesia harus berhati-hati agar tidak terseret dalam rivalitas ini. 

Meskipun BRICS menjanjikan “kemandirian global selatan”, kenyataannya pengaruh Tiongkok di dalam forum ini sangat dominan — baik dalam pendanaan maupun arah kebijakan. Jika Indonesia tidak memiliki agenda yang jelas, risiko subordinasi sangat nyata. Ekonomi kita bisa terjerat ketergantungan baru — bukan lagi pada Barat, tetapi pada Beijing atau Moskow.

Karena itu, langkah paling strategis adalah memperkuat kapasitas negosiasi dan memposisikan diri sebagai bridge builder — jembatan antara dunia maju dan dunia berkembang, antara Barat dan Timur. 

Peran inilah yang membuat diplomasi Indonesia dihormati selama ini, dan tak boleh hilang hanya karena tergiur peran global baru.

Suara Selatan yang Didengar

Di balik semua risiko itu, peluang yang terbuka sangat besar. Dunia sedang jenuh dengan tatanan global lama yang dianggap elitis dan tak adil. BRICS menawarkan panggung baru bagi negara-negara seperti Indonesia untuk bersuara — tentang reformasi sistem keuangan global, keadilan iklim, dan pembangunan yang lebih inklusif.

Indonesia memiliki kredibilitas moral di sini. Harapannya, tak sedang memiliki ambisi ekspansi militer, berkomitmen pada pembangunan berkelanjutan, dan memiliki populasi besar yang tengah naik kelas.

Jika dikelola dengan cerdas, keanggotaan BRICS bisa menjadi momentum memperluas ekspor non-komoditas. Juga, memperkuat riset teknologi bersama India dan Tiongkok, misalnya. Membangun mekanisme pembiayaan hijau, dan yang sangat heroik memperjuangkan tata ekonomi global yang lebih seimbang.

Namun semuanya bergantung pada satu hal: arah politik dalam negeri. Dan kita harus mampu menunjukkan itu dengan terang benderang ke dunia. Apakah pemerintah mampu menyiapkan kerangka kebijakan nasional yang sejalan dengan semangat BRICS — pembangunan mandiri, berbasis inovasi, dan tak terjebak ketergantungan. 

Menuju Kedaulatan Ekonomi

Menjadi bagian dari BRICS adalah langkah besar, tetapi harus disadari bahwa itu baru langkah pertama.
Indonesia kini berada di panggung global — namun panggung ini tak hanya menuntut tampil, melainkan juga untuk memegang peran.

Tantangan ke depan bukan lagi tentang diterima dunia. Melainkan bagaimana menunjukkan kapasitas nyata. Bahwa Indonesia bukan hanya “pasar besar potensial” untuk semua, tetapi bangsa ini harus dikenali dunia dengan cara baru: mampu memimpin dengan gagasan, etika, dan kemandirian.

BRICS memberi peluang untuk memperjuangkan dunia lebih adil. Tapi keadilan global hanya mungkin diperjuangkan oleh negara yang lebih dulu adil terhadap dirinya sendiri. Apakah demikian?

  

DS


PL 01 11 25 411 1 

Baca Juga
Berbagi
Suka dengan artikel ini? Ajak temanmu membaca :D
Posting Komentar