Selamat Datang, Era Ketegangan Permanen
Dunia tampak kembali hidup di bawah bayang-bayang perang. Dari Ukraina hingga Gaza, dari Sudan hingga Laut Cina Selatan. Ketegangan geopolitik membentuk ulang struktur ekonomi dan keamanan global.
Para analis kini menyebut masa ini bukan sekadar era kecerdasan buatan, melainkan era ketegangan permanen — di mana konflik, sanksi, dan disinformasi menjadi instrumen diplomasi yang sah.
Menurut Uppsala Conflict Data Program, tahun 2024 mencatat 61 konflik bersenjata antarnegara yang masih aktif — jumlah tertinggi sejak akhir Perang Dunia II. Laporan World Economic Forum 2025 menempatkan “konflik antarnegara” sebagai risiko terbesar jangka pendek, mengungguli perubahan iklim dan kerentanan siber.
Perang Tanpa Batas
Konflik masa kini jarang melibatkan perebutan wilayah secara terbuka. Ia menjelma dalam bentuk blokade ekonomi, sabotase siber, dan perang logistik. Serangan terhadap infrastruktur energi di Timur Tengah membuat harga minyak sempat menembus US$100 per barel. Sementara gangguan di Laut Merah menaikkan biaya logistik global hingga 20% pada awal 2025.
Bagi negara-negara berkembang, ketegangan geopolitik ini bukan sekadar tontonan. Dampaknya merembes ke rantai pasok, keuangan, dan keamanan pangan. Menurut IMF, konflik global menurunkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 2 poin persentase per tahun, dan menambah inflasi hingga 1,3 poin.
Ketenangan Rapuh ASEAN
Asia Tenggara, yang selama ini menikmati reputasi sebagai kawasan paling stabil di dunia berkembang, kini larut terseret di pusaran. Laut Cina Selatan menjadi salah satu titik nyala utama geopolitik abad ini. Dia bukan hanya memuat konflik tumpang tindih klaim maritim. Untuk menjadi paham, sejatinya jalur ini menjadi genting karena dilintasi 60% perdagangan global dan 30% pasokan energi dunia.
ASEAN mencoba menjaga netralitas, namun tekanan dari dua poros kekuatan besar — Tiongkok dan Amerika Serikat — kian sulit dihindari. Lihat belanja militer kawasan meningkat tajam. Vietnam, Filipina, dan Indonesia masing-masing menaikkan anggaran pertahanannya lebih dari 12% pada 2024, tertinggi dalam satu dekade ini.
Sementara itu, kerja sama keamanan baru seperti AUKUS dan Quad lahir dan menambah kompleksitas regional. ASEAN, kini harus menavigasi politik kekuatan baru, namun seyogyanya tanpa terjebak jadi proksi salah satu pihak.
Pertahanan Digital
Seperti hukum legenda yang berubah, kekuatan hari ini diukur bukan dari jumlah alutsista yang dimiliki. Percaya atau tidak, ukuran bergeser pada kemampuan menguasai data dan kecerdasan buatan. Serangan siber terhadap lembaga pemerintahan di kawasan meningkat 38% sepanjang 2024. Dan sebagian besar melibatkan infrastruktur strategis seperti energi, perbankan, dan telekomunikasi.
Negara-negara ASEAN mulai menyadari bahwa pertahanan digital adalah pranata baru keamanan nasional. Singapura membangun National AI Security Centre, sementara Malaysia dan Thailand memperkuat regulasi keamanan siber lintas sektor. Jelasnya, kesenjangan kemampuan digital antarnegara di kawasan ini masih terlihat lebar. Itu membuat sebagian besar negara rentan, jadi “target lunak” dalam perang teknologi global.
Ekonomi Ketidakpastian
Dalam jangka panjang, ketegangan geopolitik dapat mengubah lanskap ekonomi ASEAN. Relokasi industri dari Tiongkok membawa gelombang investasi baru ke Vietnam, Indonesia, dan Malaysia. Namun tak data disangkal, ini juga menciptakan ketergantungan strategis pada rantai pasok yang terlihat rapuh.
Selain itu, ketidakpastian global kini mulai menekan nilai tukar dan memperlebar defisit fiskal di beberapa negara ASEAN. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan kawasan akan melambat dari 4,7% pada 2023 menjadi 4,3% pada 2025. Hitungannya, sebagian karena tekanan eksternal dari geopolitik dan juga pengaruh suku bunga global yang terus meninggi.
Jaga Keseimbangan
Di tengah dunia yang makin terfragmentasi, ASEAN berhadapan dengan pertanyaan mendasar: bisakah netralitas dipertahankan ketika semua kekuatan besar menuntut keberpihakan?
Jawabannya mungkin terletak pada kemampuan kolektif kawasan untuk mengonversi stabilitas menjadi pengaruh. Dengan pasar berpenduduk lebih dari 680 juta orang, dan PDB gabungan yang melampaui US$4 triliun, ASEAN memiliki posisi tawar unik. Jika mereka sadar bersatu dalam visi strategis bersama, mereka akan terhimpun jadi kekuatan raskasa ke depan.
Dalam era ketegangan permanen ini, kekuatan sejati bukan lagi milik yang paling bersenjata. Hukumnya berbeda kini. Persis seperti kebijakan lama. Yang kuat sejati adalah mereka yang paling mampu menjaga keseimbangan.
Dan di antara kekuatan besar yang saling curiga, mungkin hanya kawasan seperti ASEAN yang masih punya ruang untuk berbicara kepada semua pihak.
Dan itu.. tanpa harus menembakkan satu peluru pun di medan laga.. 💣
DS
P 30 10 25 411 1
