Bila Mesin Ekonomi Global Serasa Kehilangan Tenaga



Kita sedang menghadapi penutupan tahun dengan lesu. Pastikan. Dalam satu dekade terakhir, dunia seolah kehilangan kecepatan ekonominya. Setelah gelombang pandemi, disrupsi energi akibat perang Rusia-Ukraina, dan perubahan geopolitik yang tajam, ekonomi global kini menghadapi perlambatan struktural. 


Pertumbuhan yang sempat pulih pada 2023-2024, kini kembali melemah. Bank Dunia dan OECD memperkirakan ekonomi dunia hanya tumbuh sekitar 2,5–2,8 persen pada 2025, jauh di bawah rata-rata historis sebelum pandemi yang berada di kisaran 3,5 persen. Pertanyaan besar pun muncul: mengapa mesin pertumbuhan global seolah kehabisan tenaga?


Fragmentasi


Faktor pertama adalah memburuknya hubungan perdagangan internasional. Amerika Serikat kembali menaikkan tarif terhadap Tiongkok dan sejumlah negara lain, disusul kebijakan proteksionis di Eropa, India, dan beberapa negara berkembang. 


Fenomena yang disebut de-globalization atau geo-economic fragmentation ini memicu ketidakpastian rantai pasok dan meningkatkan biaya logistik dunia. Akibatnya jelas, arus investasi lintas negara melambat tajam. 


Data UNCTAD menunjukkan penurunan FDI global lebih dari 7 persen pada 2024, terutama di sektor manufaktur berteknologi menengah yang menjadi tulang punggung lapangan kerja di negara berkembang.  Jika tren ini berlanjut, dunia bisa menuju ke era perdagangan yang terkotak-kotak—antara blok Barat, Tiongkok dan sekutunya, serta negara non-blok yang mencoba menyeimbangkan keduanya.


Melemahnya Ruang Fiskal


Kedua, beban utang negara melonjak setelah pandemi COVID-19. Untuk menahan krisis, hampir semua pemerintah menggelontorkan stimulus besar. Kini tagihan itu datang. Menurut Bank Dunia, rasio utang publik global telah menembus 93 persen terhadap PDB, tertinggi dalam empat puluh tahun terakhir.


Akibatnya, ruang fiskal untuk mendorong pertumbuhan menjadi sempit. Negara-negara berkembang yang dulu bergantung pada pinjaman murah, kini harus menghadapi suku bunga tinggi dan dolar yang kuat. 


Beberapa negara Afrika dan Amerika Latin bahkan mulai menunjukkan tanda-tanda krisis utang baru. Ketika belanja publik tertahan dan bunga pinjaman menggerogoti anggaran, belanja pembangunan otomatis melambat.


Paradoks


Di sisi lain, investasi swasta global juga menurun. Perusahaan besar menahan ekspansi karena melihat ketidakpastian geopolitik yang makin kompleks—dari konflik di Timur Tengah, ketegangan di Laut Cina Selatan, hingga pemilu yang memanas di Amerika dan Eropa.


Indeks kepercayaan bisnis global Bloomberg menunjukkan penurunan sentimen investasi sejak kuartal kedua 2024.


Sementara itu, teknologi baru seperti AI dan otomatisasi belum sepenuhnya memberi dorongan nyata ke produktivitas global. Banyak perusahaan masih dalam fase eksperimental, dan investasi teknologi belum menjangkau sektor-sektor padat karya. Maka yang terjadi adalah paradoks: dunia kaya dengan inovasi, tapi miskin dorongan investasi nyata.


Dampak Sosial


Perlambatan ekonomi ini membawa konsekuensi sosial yang genting. Pertumbuhan upah riil di banyak negara stagnan, pengangguran muda meningkat, dan ketimpangan pendapatan makin lebar. Negara-negara berkembang paling terpukul karena basis industrinya rapuh dan ketergantungan pada ekspor tinggi.


Ironisnya, di tengah semua itu, pasar saham tetap tumbuh—karena modal mengalir ke aset keuangan, bukan ke sektor produktif. Inilah salah satu gejala financialization ekonomi modern. Uang lebih banyak berputar dalam ruang virtual ketimbang  menciptakan lapangan kerja nyata.


Jalan ke Depan


Jalan keluar dari stagnasi global ini tidaklah sederhana. Dunia membutuhkan pemulihan kepercayaan—baik antarnegara maupun antara sektor publik dan swasta. Reformasi sistem perdagangan multilateral menjadi krusial agar rantai pasok kembali efisien dan stabil.


Selain itu, beberapa investasi penting kudu digenjot. Semangat investasi pada energi terbarukan, pengembangan infrastruktur digital, dan pendidikan menjadi koentji. Jika negara-negara mampu memfokuskan dana terbatasnya ke sektor produktif dan mengurangi pemborosan fiskal, peluang pemulihan bisa muncul kembali. 


Dunia, sebetulnya tak kekurangan modal. Tapi yang terlihat makin jelas, kekurangan arah dan keberanian untuk mengambil risiko jangka panjang.


Refleksi

Perlambatan ekonomi global hari ini bukan sekadar siklus biasa. Ini merupakan refleksi dari perubahan zaman yang tengah terjadi. Dunia bergerak menuju era baru: lebih terfragmentasi, lebih hati-hati, dan tentunya, lebih menantang resiko. 


Dalam lanskap itu, negara-negara yang mampu membaca arah dan menjaga keseimbangan antara kepentingan domestik dan keterbukaan global akan menjadi pemenang baru.


Ekonomi global, sejatinya memang tak sedang berhenti. Ia, bahkan hanya sedang mencari jalannya kembali.



DS


GE 01 11 25 411 1


Baca Juga
Berbagi
Suka dengan artikel ini? Ajak temanmu membaca :D
Posting Komentar