The Weary Family — Keluarga yang Lelah

  



Di banyak rumah di seluruh dunia, suasana rumah seperti hening. Tampak tenang — tak ada pertengkaran, tak ada drama besar. Namun di balik keheningan itu, ada sesuatu yang mengendap: kelelahan emosional yang tak terucap. 

Fenomena ini kini punya nama dalam literatur psikologi: parental burnout — kelelahan total yang dialami orang tua akibat tekanan mental, sosial, dan ekonomi yang kian menumpuk.

Menurut survei WHO 2024, hampir satu dari tiga orang tua di negara berpendapatan menengah melaporkan gejala kelelahan emosional yang parah. Di negara-negara Asia Tenggara, proporsinya bahkan lebih tinggi. 

Pandemi mungkin sudah berlalu, tetapi efek jangka panjangnya terhadap kehidupan keluarga masih nyata. Perubahan pola kerja, ketidakpastian ekonomi, dan tuntutan menjadi “orang tua ideal” di media sosial menimbulkan tekanan terus-menerus.

You Are My Home

Di masa lalu, keluarga adalah tempat pulang. Ruang untuk memulihkan tenaga usai diri berhadapan dengan ‘’kerasnya dunia’’. Kini, banyak rumah justru menjadi sumber kelelahan baru. Orang tua bekerja lebih lama, terhubung terus lewat gawai, dan di saat bersamaan merasa bersalah tak cukup hadir untuk anak. 

Waktu berkualitas (Quality Time), telah berubah menjadi istilah penuh beban — sesuatu yang harus dijadwalkan, namun akhirnya.. tak dijalani.

Lebih dari itu, ekspektasi sosial terhadap peran ayah dan ibu berubah drastis. Ayah dituntut lebih hadir secara emosional. Tapi nyatanya, banyak yang tidak punya model atau dukungan sosial cukup untuk itu. 

Ibu, meski semakin banyak yang bekerja, tetap menanggung beban mayoritas urusan domestik. Kombinasi antara tekanan ekonomi, perfeksionisme budaya, dan tuntutan “kebahagiaan keluarga” menciptakan paradoks. Semakin keras orang berusaha menjadi orang tua yang baik, semakin besar kemungkinan mereka ‘’merasa gagal’’.

Digital Fatigue

Di dunia yang didorong oleh algoritma, keluarga juga berhadapan dengan bentuk baru dari jarak emosional: digital fatigue. Hubungan di rumah makin banyak diwarnai oleh distraksi, bukan percakapan. 

Anak-anak tumbuh dalam dunia yang hiperaktif, sementara orang tua kelelahan secara mental. Hasilnya adalah keluarga yang hidup berdampingan tapi jarang benar-benar berjumpa secara batin.

Namun, tidak semua itu berita buruk sich. Di tengah kelelahan itu, tumbuh kesadaran baru bahwa keluarga tidak harus sempurna — cukup manusiawi. Gerakan seperti slow parenting dan mental load sharing mulai mendapatkan tempat di kota-kota besar. 

Di beberapa negara ASEAN, sekolah dan komunitas lokal mulai membangun ruang berbagi bagi orang tua yang ingin jujur tentang keterbatasannya.

Keluarga Baru di Dunia yang Berubah

Lalu, bagaimana sich kiranya bentuk keluarga masa depan? Oya, orang-orang sudah mulai menggagas pilihan. Barangkali ia akan lebih kecil, lebih cair, namun lebih sadar akan batasnya. Keluarga modern, sebut saja begitu,  tidak lagi ditentukan oleh struktur tradisional. Siapa berposisi kepala rumah tangga, siapa pencari nafkah — melainkan oleh kemampuan berbagi beban emosional secara setara.

Para psikolog keluarga memrediksi bahwa masa depan akan ditandai oleh collective caregiving. Pengasuhan bersama antara anggota keluarga, teman dekat, bahkan komunitas. Di tengah tekanan hidup urban yang kian berat, solidaritas mikro seperti itu bisa menjadi pelindung baru bagi keseimbangan mental.

Teknologi, meski sering dituding memperlemah hubungan, bisa menjadi alat penyembuh bila digunakan dengan bijak. Dari platform terapi keluarga daring hingga digital detox weekends. Tren global menunjukkan bahwa keluarga masa depan akan beradaptasi — bukan dengan menghindari dunia digital, tetapi dengan menempatkannya di posisi wajar.

Mungkin keluarga abad-21 tak lagi menjadi simbol ketenangan mutlak, sich. Tapi jika antarmereka mampu jujur, berbagi, dan bertumbuh bersama dalam keterbatasan, justru di sanalah letak ketenangan baru itu.  Jadi boleh dicatet, ukuran keberhasilan keluarga ke depan, bukan dalam kesempurnaan.

Melainkan dalam pengertian antarsubjek dalam keluarga, yang kian manusiawi. 

 

DS

FA 30 10 25 4111 1

Baca Juga
Berbagi
Suka dengan artikel ini? Ajak temanmu membaca :D
Posting Komentar