Indonesia di Persimpangan: Politik Kekuasaan dan Arah Pembangunan
Di sebuah warung kopi di sudut Jakarta, obrolan tentang siapa yang berkuasa lima tahun ke depan tak kalah ramai dengan gosip harga beras. Rakyat mungkin terdengar santai, tapi arah pembicaraan itu sebenarnya menentukan: siapa memegang kendali, dan ke mana pembangunan bangsa ini akan dibawa.
Politik Indonesia hari ini berada di sebuah persimpangan: antara melanjutkan proyek besar yang sudah berjalan, atau merumuskan arah baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan rakyat. Transisi kekuasaan pasca-Pemilu 2024 bukan sekadar soal kursi presiden, tapi juga soal model pembangunan.
Apakah kita akan tetap mengandalkan “politik proyek” — jalan tol, bendungan, ibu kota baru — atau berani membalik prioritas ke investasi manusia, pendidikan, dan kesehatan?
Kontradiksi
Data Bappenas menyebutkan, produktivitas pekerja Indonesia masih jauh tertinggal dari negara tetangga. Rata-rata produktivitas kita hanya sekitar 23.000 dolar per pekerja per tahun, sementara Malaysia sudah mencapai lebih dari 55.000 dolar.
Angka ini bukan sekadar statistik ekonomi; ia adalah cermin dari lemahnya kapasitas sumber daya manusia kita. Namun, ironi muncul ketika sebagian besar anggaran negara masih terserap pada infrastruktur fisik. Kontradiksi inilah yang menimbulkan pertanyaan: apakah pembangunan kita sedang membangun “bangunan”. Atau benar-benar membangun “sumberdaya bangsa”?
Dinamika politik justru membuat situasi ini makin rumit. Elite-elite partai masih berkutat dengan bagi-bagi jabatan ketimbang menguji ide pembangunan. Debat visi jarang terdengar, yang riuh justru adu pencitraan.
Pertanyaan penting—bagaimana mengurangi ketimpangan desa-kota, bagaimana menghadapi krisis pangan dan energi, atau bagaimana menyiapkan generasi muda di era digital—sering terpinggirkan oleh drama koalisi dan kalkulasi kursi.
Padahal sejarah telah memberi banyak pelajaran. Korea Selatan yang hancur akibat perang bisa bangkit karena konsistensi pada visi pembangunan berbasis SDM dan teknologi. Singapura yang mungil secara geografis bisa melesat karena disiplin dalam tata kelola pemerintahan.
Indonesia justru sering kali terjebak dalam politik jangka pendek, sehingga arah pembangunan berjalan tambal sulam. Proyek besar datang silih berganti, tapi jarang ada pemikiran kesinambungan.
Lihatlah contoh pembangunan ibu kota baru (IKN). Ia diperkenalkan sebagai simbol modernitas, kota cerdas, ramah lingkungan, sekaligus pusat gravitasi baru. Tetapi di balik visi mulia itu, banyak pertanyaan menggantung. Apakah pembangunan ini sungguh-sungguh menjawab kebutuhan mendesak rakyat. Atau sekadar proyek mercusuar yang memperlihatkan kehebatan rezim. Sementara jutaan anak muda masih kesulitan mencari pekerjaan layak, ratusan ribu keluarga miskin menghadapi lonjakan harga pangan. Desa-desa tertinggal masih menunggu akses standar dasar yang stabil.
Politik proyek memang memberi citra instan. Jalan tol yang membelah pulau, jembatan megah, atau bandara baru mudah difoto, mudah dijual di media sosial. Tetapi pembangunan manusia tidak menghasilkan gambar yang seindah itu.
Perbaikan kualitas guru, reformasi kurikulum, peningkatan layanan kesehatan dasar—semuanya proses panjang yang tak selalu bisa dipanen dalam satu periode kekuasaan. Di sinilah letak tantangannya: apakah elite politik kita rela menanam pohon yang mungkin baru berbuah di era generasi berikutnya?
Bonus apa Petaka, Ya?
Sementara itu, rakyat menghadapi realitas yang kian kompleks. Bonus demografi yang semestinya menjadi peluang bisa berubah menjadi beban, jika angkatan kerja muda tak terserap dengan baik. Data BPS 2024 menunjukkan lebih dari 12 persen sarjana Indonesia menganggur atau bekerja tidak sesuai bidangnya. Ini alarm keras: pendidikan yang kita bangun belum terhubung dengan dunia kerja yang nyata.
Di sisi lain, ancaman global kian nyata. Perubahan iklim mulai menggerus produktivitas pertanian, harga energi dunia berfluktuasi, dan geopolitik memanas dengan rivalitas AS–Tiongkok. Indonesia tidak mungkin menghadapinya hanya dengan retorika nasionalisme. Apalagi jika fondasi pembangunan dalam negeri masih terlihat rapuh.
Maka, persimpangan yang kita hadapi bukanlah sekadar metafora. Ia nyata, ia konkret, dan ia mendesak. Kita bisa memilih jalur lebih mudah: melanjutkan politik proyek yang gagah di televisi namun kian nyata, rapuh di dalam. Atau kita bisa memilih jalur yang lebih menantang: menaruh prioritas pada pembangunan manusia, meski hasilnya baru tampak jangka panjang.
Pertanyaannya sederhana tapi krusial: apakah para pemimpin kita berani mengambil pilihan idiologis lebih mendasar. Atau mereka akan tetap terjebak dalam logika lima tahunan serba instan.
Dari persimpangan inilah, arah Indonesia ditentukan. Dan setiap pilihan politik hari ini akan kita bayar, bukan hanya dalam lima tahun ke depan, tetapi dalam perjalanan bangsa menuju 2045.
Indonesia, 28 10 25 411 1
