Andai Saja Kita Siap Menghadapi ''Depresi Baru'' 2030




Delapan puluh tahun setelah dunia menandatangani kesepakatan Bretton Woods untuk menata kembali tatanan ekonomi pascaperang, sistem global itu kini berada di ambang ujian terbesar sejak Depresi 1930-an. Bedanya, kali ini krisisnya tidak hanya soal pasar atau bank, tetapi tentang seluruh fondasi moral dan ekologis umat manusia.


Pada 1944, 44 negara berkumpul di sebuah kota kecil di New Hampshire dengan tekad sederhana: membangun dunia yang lebih stabil setelah kekacauan perang dan depresi. Lahirlah tatanan baru—IMF, Bank Dunia, dan dominasi dolar Amerika—yang selama beberapa dekade menciptakan pertumbuhan, perdagangan, dan ilusi stabilitas. 


Dunia merasa aman di bawah naungan sistem itu, seolah-olah keseimbangan global bisa diciptakan lewat rumus keuangan dan kesepakatan politik.


Namun kenyataan 2020-an adalah dunia yang sama sekali berbeda. Struktur ekonomi yang dulu menopang kemakmuran kini berubah menjadi jerat ketergantungan. Negara-negara berkembang kembali hidup dari utang yang menumpuk, sementara kesenjangan sosial dan ekologis makin dalam. Apa yang dulu disebut stabilitas kini terasa seperti stagnasi yang dibungkus retorika.

 

Warisan atau Beban


Bretton Woods dibangun di atas keyakinan bahwa stabilitas adalah jalan menuju kemakmuran. Tapi stabilitas itu kini berubah menjadi struktur yang kaku dan timpang. Setiap guncangan di Washington mengguncang Jakarta, Johannesburg, hingga Buenos Aires. Ketika utang global melampaui 315 triliun dolar—tiga kali lipat PDB dunia—kita menyadari bahwa sistem ini bukan lagi benteng keamanan, melainkan beban yang diwariskan dari masa lalu.


Lembaga-lembaga global yang dulu menjadi simbol kerja sama kini kehilangan arah moralnya. IMF masih menegakkan disiplin fiskal yang sering kali memukul negara miskin. Bank Dunia berbicara tentang pembangunan hijau, namun pendanaannya jauh dari memadai. Sementara itu, muncul kekuatan-kekuatan baru seperti BRICS dan AIIB, yang menandai pergeseran dari tatanan pascaperang menuju multipolaritas yang belum menemukan bentuk.


Tatanan dunia lama masih berdiri, tetapi fondasinya mulai retak.

 

SDGs dan Fatamorgana Janji


Ketika PBB meluncurkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada 2015, dunia kembali berharap. Tujuh belas tujuan ambisius—dari penghapusan kemiskinan hingga transisi energi bersih—dijadikan pedoman moral global menuju 2030. Namun menjelang tenggat waktu, sebagian besar target itu kini tertinggal jauh.


Pandemi, perang, dan krisis utang membuat kemajuan SDGs tersendat. Tetapi masalah utamanya lebih dalam: janji keberlanjutan itu dibangun di atas fondasi ekonomi yang sama dengan warisan Bretton Woods—berbasis utang, ketergantungan, dan orientasi jangka pendek. 


Bahkan agenda hijau pun kini berubah menjadi perlombaan geopolitik: siapa yang menguasai teknologi baterai, mineral kritis, dan rantai pasok energi baru. Tampaknya, SDGs seolah menjadi cermin dunia yang ingin berubah, tapi tak berani meninggalkan cara lama.

 

Krisis, Tak Bernuansa Ekonomi


Tanda-tandanya sudah terlihat. Perdagangan global tumbuh paling lambat sejak krisis 2008. Harga pangan dan energi bergejolak, diperparah oleh cuaca ekstrem dan perang regional. Utang publik mencetak rekor tertinggi sejak Perang Dunia II. Namun krisis yang mendekat kali ini tidak akan menyerupai 1930-an—karena bukan hanya ekonomi yang runtuh, melainkan juga tatanan sosial dan kepercayaan global.


Krisis ini bersifat sistemik. Planet memanas, demokrasi kehilangan legitimasi, dan teknologi mengguncang struktur kerja serta pengetahuan manusia. Jika dulu krisis dimulai dari pasar yang ambruk, maka kini ia mungkin dimulai dari kehilangan keyakinan bahwa sistem global masih bisa diselamatkan.


''Depresi Baru 2030'' mungkin tak ditandai antrean panjang di depan bank, melainkan oleh runtuhnya kepercayaan—terhadap pemerintah, lembaga internasional, dan bahkan terhadap ide bahwa kemajuan masih berkemungkinan terjadi.

 

Menuju Bretton Woods Baru


Sebagian ekonom membayangkan lahirnya Bretton Woods 2.0: konferensi global baru yang menulis ulang aturan main ekonomi dunia. Tapi realitasnya, dunia kini terlalu terpecah untuk kesepakatan semacam itu. Tidak ada lagi satu kekuatan moral yang diakui bersama. Namun semangat Bretton Woods—keyakinan bahwa kerja sama bisa mengalahkan kekacauan—tetap relevan.


Arsitektur ekonomi dunia perlu dibangun ulang, bukan hanya di atas angka, tapi di atas kesadaran moral baru. Ada tiga prasyarat. Pertama, tanggung jawab bersama. Utang dan pendanaan iklim bukanlah amal, melainkan kebutuhan sistemik. 


Kedua, akuntabilitas moral. Ukuran pembangunan tak bisa lagi berhenti pada PDB, tapi harus menimbang keseimbangan sosial dan ekologis. 


Ketiga, pembaruan institusional: lembaga-lembaga global harus mencerminkan realitas abad ke-21, bukan hierarki 1945.


Kalau tidak, dunia akan meluncur perlahan ke arah yang sudah pernah dikenalnya: stagnasi panjang dengan wajah baru. Sebuah depresi yang mungkin tak meledak secara tiba-tiba, tapi merayap, menekan, dan mengikis harapan generasi berikutnya.

 

Krisis = Ujian Moral


Sejarah telah memberi kita bahan ajar, setiap kehancuran senantiasa melahirkan pembaruan. Depresi Besar melahirkan negara kesejahteraan. Perang Dunia II melahirkan Bretton Woods. Barangkali krisis 2030 akan memaksa dunia menemukan arsitektur moral baru—sebuah kesadaran bahwa stabilitas tak bisa lahir dari ketimpangan, dan kemakmuran tak bisa dibangun di atas planet yang sekarat.


Tapi waktu maman tak pernah berpihak. Sistem yang dulu menjanjikan stabilitas kini kehilangan legitimasi. Tatanan yang dulu membawa harapan, kini menciptakan kelelahan kolektif. Krisis yang akan datang tak akan menunggu konsensus. Ia akan datang perlahan, saat satu per satu sistem gagal menjalankan fungsinya.


Pada saat itu, dunia akan kembali menghadapi pilihan yang sama seperti delapan puluh tahun lalu: mempertahankan ilusi tatanan lama, atau membangun peradaban baru. Dan itu artinya bukan untuk menyelamatkan ekonomi an sich. Namun sebuah kesadaran, untuk menyelamatkan masa depan anak cucu pewaris bumi.


DS

GD 31 10 25 4 11 1

Baca Juga
Berbagi
Suka dengan artikel ini? Ajak temanmu membaca :D
Posting Komentar