Bukannya Sedang Diingatkan — Kita Kini Hidup Dalam Pelukan Bencana

 


Pernahkah kita membayangkan situasi ketika orang membahas perubahan iklim? O, isu ini memang terus dibahas dalam derasnya kegentingan bencana dunia. Tapi toh masih isu, jauh ke depan santer di meja runding atau kartas kerja universitas.  

Tapi jangan pernah terkejut bila isu santer ini sesungguhnya telah bergeser jauh, memasuki rumah-rumah kita. Sekarang. Petandanya kini kian nyata di mana-mana.  Bencana meluas dalam aneka bentuknya — di tanah retak California, Turki atau yang sekarang berlangsung banjir menggenangi Jakarta dan berbagai wilayah tanah air.  

Kebakaran lahan menyentuh hutan-hutan dunia dalam luasan tak terkira. Amerika dan Eropa bagian Selatan dihajar si jago merah. Pendek kata, planet kita kini sedang berubah lebih cepat dari kemampuan kita untuk beradaptasi. Dan konsekuensinya, semua itu akan mengubah derajat perhatian kita pada lingkungan -- tempat kita berteduh. Lalu, bagaimanakah kita menulis ulang tentang cara kita berhidup di masa depan?

Realitas yang Tak Dapat Ditawar

Kita seharusnya tahu, dalam dua tahun terakhir, peta iklim global memperlihatkan pola ekstrem yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah modern. Gelombang panas memecahkan rekor di Eropa, dengan suhu melampaui 47°C di Spanyol dan Italia. 

Di Amerika Serikat bagian barat, kekeringan memaksa ribuan hektar lahan pertanian berhenti berproduksi, sementara Kanada kehilangan lebih dari 15 juta hektar hutan akibat kebakaran pada 2024. Apa yang dulu disebut “bencana alam” itu,  kini lebih tepat dipahami sebagai gejala sistemik dari iklim yang tampaknya, sudah hilang kendali.

Apakah sudah terasakan di halaman rumah kita? Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), tahun 2025 berpotensi menjadi tahun terpanas dalam sejarah, melampaui rekor yang dicapai tahun 2023. Suhu rata-rata global sejatinya kini telah naik 1,4°C dibandingkan era praindustri, mendekati ambang berbahaya 1,5°C yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris

Lebih mengkhawatirkan lagi, pemanasan muka bumi itu tak lagi bersifat linier. Dengan mencairnya lapisan es di Greenland dan Antartika jauh lebih cepat dari perkiraan, planet kita sesungguhnya telah berada di tepi titik balik yang tak dapat dipulihkan.

Dari Sains ke Krisis Sosial

Dampak perubahan iklim dunia, nyatanya, telah meluas jauh melampaui ranah lingkungan. Tengok, gagal panen dan gangguan rantai pasok telah menyebabkan harga pangan terus melonjak tajam. Organisasi Pangan Dunia (FAO) melaporkan 333 juta orang di 78 negara kini mengalami kerawanan pangan kronis — sebagian besar di negara-negara Selatan. 

Kesenjangan makin melebar. Negara-negara kaya, yang bertanggung jawab atas sekitar 80 persen emisi gas buang, tentunya masih mampu beradaptasi. Sebaliknya, negara berkembang menanggung biaya ekonomi dan ekologis paling berat.

Di Asia Tenggara, kenaikan permukaan laut telah menenggelamkan pulau-pulau kecil di utara kepulauan terluar kita . Kajian BRIN tahun 2025 memperkirakan, tanpa adaptasi besar-besaran, sekitar 2.000 desa pesisir bisa lenyap sebelum 2050. 

Banjir besar di Jawa Tengah dan Sumatra Selatan menyingkap paradoks yang kejam: satu wilayah tenggelam, wilayah lain mengering. Pola hujan bergeser membuat pertanian tradisional tak lagi dapat diandalkan, sementara urbanisasi menggerus sumber air yang kian menipis. Di sini kita pahami, perubahan iklim kini bukan sekadar isu lingkungan, melainkan isu peradaban.

Lanskap Global: Antara Fragmentasi dan Kolaborasi

Di panggung global, narasi iklim kini ditarik ke dua arah yang berlawanan. Negara-negara maju mempercepat transisi energi hijau, didorong oleh pasar dan regulasi. Uni Eropa menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) untuk mengenakan pajak pada impor berbasis karbon. 

Amerika Serikat menggelontorkan lebih dari USD 370 miliar melalui Inflation Reduction Act untuk mendukung teknologi energi bersih. Sementara itu, Tiongkok — yang dulu dikenal sebagai penghasil emisi terbesar — kini memimpin produksi panel surya dan baterai litium, membentuk fase baru ekonomi energi dunia.

Namun, fragmentasi geopolitik mengancam aksi kolektif. Perang di Ukraina dan Timur Tengah, serta ketegangan antara Washington dan Beijing, menjadikan isu iklim sekadar alat tawar diplomatik. 

Negara berkembang mulai membuka suara, menuntut climate justice — keadilan iklim — karena mereka diminta memangkas emisi, padahal kontribusi historis mereka sangat kecil. Loss and Damage Fund yang dijanjikan sejak kesepakatan COP27 di Mesir diteken, masih bersifat simbolik. Solidaritas global, tampaknya, berhenti di meja perundingan.

Agenda Baru Menuju Transformasi

Dunia kini memerlukan agenda yang melampaui sekadar pengurangan emisi. Yang dibutuhkan adalah transformasi menyeluruh dalam cara kita hidup, memproduksi, dan mengonsumsi. Ada tiga prioritas mendesak yang semestinya diagendakan:

  1. Mengalihkan Arah Investasi Global.
    Forum Ekonomi Dunia memperingatkan, perusahaan yang tak siap menghadapi dampak iklim berpotensi kehilangan 5–25 persen EBITDA pada 2050. Investasi hijau bukan beban, melainkan strategi bertahan hidup. Modal publik dan swasta harus mengalir ke energi terbarukan dan infrastruktur tangguh iklim.

  2. Menjamin Transisi yang Adil.
    Tidak semua negara memulai dari titik yang sama. Transisi yang adil berarti memberi ruang bagi negara berkembang untuk tumbuh tanpa mengulang kesalahan karbon masa lalu. Dukungan finansial dan transfer teknologi harus bersifat timbal balik, bukan paternalistik.

  3. Memperkuat Kepedulian Masyarakat Sipil.
    Kesadaran iklim tidak boleh berhenti di ruang konferensi. Gerakan akar rumput, aktivisme generasi muda, dan perubahan gaya hidup menjadi kunci mendorong budaya regeneratif, bukan konsumtif. Planet ini hanya akan pulih jika kesadaran individu berubah menjadi komitmen kolektif.

Jadi, Krisis atau Peluang?

Dan baiklah. Diakui atau tidak, kita hidup di zaman ketika perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan, melainkan kini, kita telah tenggelam di dalam krisisnya. Dunia, sejatinya tidak sedang menunggu bencana —karena di depan mata, kita sudah mengalaminya. Namun di tengah krisis ini tersimpan peluang untuk membangun kembali ekonomi dan masyarakat yang lebih ''beradab''. Harapannya tentu, lebih adil, bersih, dan tangguh dalam memandang apa yang tengah terjadi saat ini.

Pertanyaannya bukan lagi apakah manusia akan bertindak, tetapi seberapa cepat dan berani kita dapat mengarahkan sejarah kembali ke jalur yang benar. Seperti apa yang telah diucapkan Sekjen PBB António Guterres, “Kita sedang melaju di jalan raya menuju neraka iklim, dengan kaki masih menekan pedal gas.

Nah, rasa-rasanya, kini bukan saatnya lagi bertukar gagasan dan pengaruh di meja runding. Mengingatkan kembali kita bukan sedang diingatkan kejadian bencana iklim. Dunia mustinya kadar semua dampak itu telah memasuki halaman rumah kita. Menyepakati Antonio, kita harus memiliki mekanisme ''mengerem'' kerusakan bersama.. Lebih rigas, lebih cepat. Sebelum segalanya terlambat.💣

DS

CC 01 11 25 411 1

Baca Juga
Berbagi
Suka dengan artikel ini? Ajak temanmu membaca :D
Posting Komentar