Ancaman Baru Penyakit Global di Bumi yang Kian Memanas




Alarm dari alam kian menguat. Ketika bumi menghangat, kehidupan beradaptasi. Namun sayangnya, tak selalu menujuk ke arah lebih baik. Panas, yang memperpanjang musim tanam dan mengubah arus laut itu, juga membangkitkan patogen, memperluas wilayah nyamuk, dan mengacaukan keseimbangan halus antara manusia dan mikroba. 


Siapa tertuduhnya? Kenaikan suhu bumi kini perlahan menggambar ulang peta penyakit dunia.


Alarm Global


Perhatikan. Dalam satu dekade terakhir, wabah demam berdarah, chikungunya, malaria, hingga Zika meningkat tajam di kawasan yang dulu dianggap aman. Eropa Selatan mencatat kasus penularan malaria lokal untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun. 


Amerika Serikat, Jepang, dan bahkan sebagian Tiongkok kini menghadapi ancaman nyata penyakit yang dulu hanya dikenal di daerah tropis.


Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari satu miliar orang kini terpapar penyakit menular di wilayah yang sebelumnya bebas dari risiko itu. Perubahan iklim menjadi pengganda ancaman. 


Suhu yang lebih hangat mempercepat siklus hidup nyamuk, musim hujan yang lebih panjang memperpanjang masa penularan, dan cuaca ekstrem menghancurkan sistem sanitasi yang dulu menjaga keseimbangan lingkungan.


Kebangkitan Dunia Mikrobial


Selain ancaman yang tampak dari penyakit akibat gigitan serangga, para ilmuwan kini memperingatkan bahaya lain. Yakni kebangkitan mikroba purba yang selama ribuan tahun terkunci dalam es beku. Bukan sulap daÅ„ sihir ini. Ketika lapisan permafrost di Arktik mencair, virus kuno — beberapa berusia puluhan ribu tahun — berpotensi muncul kembali di ekosistem yang tak siap menghadapinya.


Tahun 2016, bangkai rusa yang mencair di Siberia melepaskan spora antraks, menewaskan ribuan hewan dan menginfeksi puluhan manusia. Kejadian itu dulu dianggap kebetulan. Kini, ia dipandang sebagai peringatan keras: bumi memanas, arsip penyakit masa lalu terbuka.


Panas, Migrasi, dan Ketimpangan Kesehatan


Sudah menjadi lazim dikenali. Pemanasan global antara lain juga memicu migrasi manusia. Bank Dunia memperkirakan lebih dari 200 juta orang akan menjadi pengungsi iklim pada tahun 2050. Hal itu akan mengiringi kejadian bencana kekeringan, banjir, dan gagal panen. 


Penyakit ikut bermigrasi bersama mereka. Kamp pengungsi dan permukiman darurat sering kekurangan sanitasi, layanan kesehatan, dan vaksinasi — menciptakan ruang subur bagi wabah baru.


Sementara itu, panas ekstrem menjadi ancaman kesehatan tersendiri. WHO dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperingatkan bahwa stres panas akibat kerja kini menjadi ancaman utama bagi jutaan pekerja sektor konstruksi, pertanian, dan manufaktur. 


Terutama di negara-negara berkembang. Setiap tahun, jutaan orang mengalami dehidrasi, gangguan ginjal, hingga serangan jantung hanya karena bekerja di bawah suhu yang semakin tak bersahabat.


Lomba Beradaptasi


Namun kembali, di tengah peringatan itu, muncul pula daya lenting dan inovasi. Pengalaman pandemi COVID-19 melahirkan kemajuan besar dalam surveilans genomik. Memungkinkan ilmuwan melacak mutasi virus lebih cepat dari sebelumnya. 


Kecerdasan buatan (AI) kini dipakai untuk memprediksi wabah berdasarkan data lingkungan dan sosial, memberi waktu bagi sistem kesehatan untuk bersiaga.


Perusahaan bioteknologi juga berlomba mengembangkan vaksin universal untuk influenza dan virus korona. Sementara teknologi mRNA membuka peluang baru untuk melawan malaria, TBC, bahkan HIV. Konvergensi antara sains iklim dan biomedis memberi secercah harapan. Sebuah jendela kecil kesiagaan medis, di tengah ketidakpastian global.


Resonansi Planet Kita


Dunia kesehatan yang terus berpacu membawa kabar baiknya di sisi kebijakan. Bidang baru yang disebut Kesehatan Planet (Planetary Health) kini menjadi payung pemikiran yang menyatukan semua ini. 


Payung itu menegaskan bahwa kesehatan manusia tak terpisah dari kesehatan bumi. Deforestasi, urbanisasi, dan perubahan iklim bukan sekadar krisis lingkungan. Tapi juga mesin penggerak evolusi penyakit. Ketika hutan ditebang, patogen berpindah dari satwa liar ke manusia. Ketika rawa mengering, populasi nyamuk meledak.


Dengan kata lain, tantangan medis terbesar umat manusia bukanlah satu virus tunggal, melainkan cara kita hidup di bumi dengan bijak. Setiap keputusan tentang energi, lahan, dan konsumsi menyimpan konsekuensi kesehatan yang akan diwariskan ke generasi berikutnya.


Diagnosis Terakhir


Sebagai renungan dari kompleksitas ini. Marilah kita sadari. Bahwa kita tengah memasuki era di mana pandemi mungkin bukan lagi kejadian luar biasa. Melainkan gejala berulang dari planet yang sedang demam. Pesannya jelas: untuk melindungi kesehatan manusia, kita harus memperlakukan perubahan iklim sebagai ''keadaan darurat medis''.


Nasib manusia tak hanya ditentukan oleh vaksin atau rumah sakit. Tapi juga oleh hutan yang dijaga, emisi yang dikurangi, dan ekosistem yang ''disembuhkan''. Orang-orang medis kegirangan meneiam anugerah ini. Pesan bijak dari bumi yang rendah hati.. Termometer bumi dan denyut nadi manusia kini berdetak dalam ''satu irama yang sama''. Sungguh menggetarkan!


DS

GH  01 11 25 411 1

Baca Juga
Berbagi
Suka dengan artikel ini? Ajak temanmu membaca :D
Posting Komentar